Scroll Untuk Membaca

Nusantara

Pasal Penghinaan Presiden Masuk Delik Aduan Dalam RUU KUHP Yang Akan Disahkan

Kecil Besar
14px

JAKARTA (Waspada): Pemerintah dan DPR RI akan menghidupkan kembali pasal delik penghinaan presiden dalam RUU KUHP yang ditargetkan akan disahkan dalam masa sidang sekarang ini.
Anggota Komisi III Fraksi PDI Perjuangan DPR RI Arteria Dahlan mengatakan, fraksinya sepakat masa sidang RUU KUHP disahkan.
“RUU KUHP ini mengatur dari orang mau buat anak, sampai orang menutup mata meninggal dunia ada di sini semua,”ungkap Arteria dalam diskusi Forum Legislasi
“RUU KUHP dan Nasib Hukum Indonesia” di Jakarta Selasa (7/6).
Nasib RUU KUHP memang tertunda sejak periode Presiden SBY sampai pemerintahan Presiden Jokowi belum juga disahkan.
Menurut Arteria RUU KUHP itu dipastikan harus juga beradab. Namun juga tetap humanis disesuaikan dengan politik hukum nasional.
“Makanya berkali-kali saya katakan kepada pemerintah segerakanlah karena sembilan fraksi yang menjadikan konfigurasi politik sebagai wujud dari pembentukan politik hukum negara nantinya, sekarang udah siap untuk mensahkan RUU itu secepatnya,” ujarnya.

Arteria Dahlan menambahkan, RUU KUHP itu juga sesuai dengan keadaan dan perkembangan kehidupan bermasyarakat beragama berbangsa dan bernegara. Isu globalisasi hadir, isu sosialis demokrasi tentang bagaimana semuanya harus tidak liberal. Tetapi memang harus bersendikan HAM yang juga kita akomodir tidak hanya HAM yang partikuler yang ada di Indonesia, begitu juga materi muatannya.
“Kenapa kita jelimet, susah karena RUU KUHP ini mengatur dari orang mau buat anak, sampai orang menutup mata meninggal dunia ini ada di sini semua,”ujar Arteria.
Menyinggung tentang dimasukkannya lagi pasal delik aduan penghinaan presiden, Arteria menolak karena hal itu negara kita tidak demokratis.
“Kata siapa? Negara kita tidak demokratis. Penghinaan kepada presiden masuk dalam delik aduan. Ini delik aduan. Wong menghina kepala negara sahabat saja (pakai UU itu dihukum, masa (menghina) kepala negara kita enggak dihukum. Tetapi kita lakukan secara lebih bermartabat dan beradab. Delik aduan, yang melapor itu presiden sendiri pengecualiannya apa untuk membela diri dan kepentingan umum mengungkapkan kebenaran. Itu tidak termasuk kritik. Kritik silahkan jalan terus, enggak mungkin dipakai-pakai pasal-pasal ini,”ungkap Arteria.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Pasal Penghinaan Presiden Masuk Delik Aduan Dalam RUU KUHP Yang Akan Disahkan

IKLAN

Plh Dirjen PP Kemenkumham, Dhahana Putra, dalam forum itu membenarkan pemerintah membuat dari segi deliknya menjadi delik aduan.

Dan ini juga kita bisa lihat ada suatu perbedaan, penafsiran di masyarakat itu bahwa dianggap ini pasal ini seperti zombie, kenapa karena sudah dibatalkan di MK padahal sudah kita komporarasi antara substansi di KUHP terkait dengan penghunaan terhadap presiden dengan RUU KUHP itu berbeda.

Pada saat kita bicara RUU KUHP yang bisa dipidana adalah pada saat dia menyerang harkat dan martabatnya contohnya adalah ini presiden enggak jjelas nih satatusnya nih, pooknya menyerang harkat dan martabatnya.

Bisa dibayangkan kalau siapapun ya, jangan presiden kita pun pada saat kita diserang angkat dan martabat kita pun juga akan marah, apalagi Presiden itu kan dipilih oleh seluruh masyarakat Indonesia, karena ini kan kurang lebih 265 juta ya mayarakat di Indonesia, mungkin memilih pun juga mungkin punya hak memilihpun juga munkin setengahnya, bisa dibayangkan.

“Jadi dalam kontek seperti ini kami (pemerintah) sangat membutuhkan pasal itu. Tapi pun juga kami berikan suatu batasan, kalau sifatnya kritik misalkan presiden enggak bagus dari segi programnya, presiden enggak mampu untuk mengaplikasikan programnya itu hanya kritik, tidak dipidankan. Tetapi kalau menyerang harkat dan martabatnya itu bisa dipidana,”ujar Dhahana Putra.

Pakar Hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mencatat penghinaan terhadap presiden kalau dilacak KUHP, kenapa ada pasal penghinaan Presiden? Karena kita dulu dijajah Belanda. Ratu Belanda itu, harus seumur hidup dia baru diganti kalau meninggal dunia, karena itu harus dilindungi melalui hukum pidana. Itulah tidak boleh dihina penghinaan terhadap presiden. Tetapi ketika kita memilih negara demokrasi yang lima tahun sekali ganti presidennya, Kalau menurut saya itu sudah enggak relevan. Karena sebenarnya kata Presiden itu lembaga, institusi bukan orang, tetapi kalau dia dihina sebagai nama orang, Pak Jokowi dihina kenapa gitu ya, itu ada 310, 311 KUHP sekarang ya, itu ada itu, artinya dia bisa tetap menuntut, tetapi ketika masuk ke lembaga presiden nah seharusnya itu tidak ada lagi tindak pidana penghinaan terhadap presiden, karena apa? Karena kita memilih sebagai negara demokrasi,” ujar Abdul Fickar Hadjar.(j04)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE