LHOKSEUMAWE (Waspada): Pemko Lhokseumawe menyampaikan berbagai keluhan dalam penanganan pengungsi Rohingya di shelter bekas Kantor Imigrasi Peuntet Kec. Blang Mangat dan menolak adanya wacana pembangunan shelter permanen.
Hal itu tertuangkan dalam rapat koordinasi kerja Dirjen HAM dan Kemanusiaan Kementerian luar negeri Ahsanul Hakim, UNHCR dan IOM di Oproom lantai tiga Kantor Wali Kota setempat, Selasa (21/2).
Dalam rapat yang dipimpin Asisten 1 Maksalmina itu, pihak utusan Kemenlu, UHCR dan IOM menampung berbagai keluhan yang disampaikan untuk menjadi catatan dan perubahan yang lebih baik.
Asisten 1 Pemko Lhokseumawe Maksalmina mengatakan rapat ini menjadi momen penting bagi pemerintah untuk menumpahkan semua keluh kesah yang dialami selama penanganan Rohingya.
Antara lain, sebutnya, adalah kendala utama dalam penanganan pengungsi Rohingya adalah tidak tersedia anggaran. Apalagi untuk alokasi anggaran penanganan Rohingya itu membutuhkan rekomendasi Gubernur Aceh selalu pihak yang berwenang.
Selanjutnya koordinasi daerah dengan pihak Provinsi Aceh juga sering terbentur dalam merespon masalah dan keluhan lain akan disampaikan oleh Kadis Sosial Muslem dan jajarannya.
Kemudian Maksalmina juga menegaskan pihaknya menolak ide atau wacana pihak UNHCR dan IOM yang ingin membangun shelter permanen. Pihaknya membantu karena kemanusiaan, namun tidak ingin menjadi tempat pelarian pengungsi asing.
“Kita sampaikan semua keluh kesah kita dalam penanganan pengungsi Rohingya. Seperti soal tidak tersedianya dana, koordinasi dengan Provinsi Aceh yang sering terbentur dan hal lain juga akan disampaikan oleh Kadis Sosial Muslem,” ujarnya.
Hal serupa juga diungkapkan Kadis Sosial Muslem yang menyampaikan berbagai keluhan dalam penanganan pengungsi Rohingya di shelter sementara di bekad Kantor Imigrasi Peuntet.
Dikatakannya, keluhan yang menjadi faktor terburuk adalah tentang etika dan perilaku Rohingya. Misalkan dari segi kebersihan dan kesehatan, meski sudah disediakan toilet, namun Rohingya malah buang air besar di dekat toilet.
Kemudian sering terjadi keributan antar sesama Rohingya, Bahkan parahnya lagi perjalanan Rohingya juga menimbulkan kasus human trafficking yang terasa sangat meresahkan.
Meski awalnya para Rohingya yang terdampar dapat disambut dengan mulia oleh warga Aceh yang memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Namun karena kedatangan Rohingya yang kian berkelanjutan menjadikan Aceh sebagai tempat transit.
Sebaliknya warga Aceh sekarang mulai enggan menyambut Rohingya karena tak ingin direpotkan dengan perilaku buruk Rohingya.
“Semula warga Aceh menyambut Rohingya yang terdampar dan butuh pertolongan. Tapi sekarang warga Aceh mulai enggan karena Rohingya yang datang tidak lagi dalam kondisi sekarat dan hanya singgah untuk melanjutkan perjalanannya dengan tujuan Malaysia, Singapura,” paparnya.
Sementara itu Dirjen HAM dan Kemanusiaan Kementerian luar negeri Ahsanul Hakim mengakui kemuliaan orang Aceh pada kemanusiaan sangat tinggi dan telah diakui oleh dunia. Karena di saat negara belahan dunia lain begitu tega menolak kapal Rohingya, namun Aceh membantu menyelamatkan mereka.
Ahsanul menjelaskan kunjungannya bersama UNCR dan IOM ke Aceh yang memonitoring dan meninjau Shalter pengungsi Rohingya di bekas Kantor Imigrasi Peuntet.
Ahsanul menilai perkembangan di lapangan ternyata semakin baik, koordinasi antara imigrasi, polisi, LSM dan Pemko Lhokseumawe juga mulai terjalin dengan bagus.
“Saya melihat semuanya berjalan dengan baik, program penanganannya juga berjalan, sistemnya ada dan segala kebutuhan yang diperlukan juga dapat terpenuhi,” paparnya. (b09)