BANDA ACEH (Waspada): Merespon dinamika sosial politik Pilkada serentak, terutama terkait Pemilihan Gubernur (Pilgub) Aceh yang semakin menghangat, sebaiknya komponen ulama maupun Partai Adil Sejahtera (PAS) untuk tidak sembarangan mengusung Calon Gubernur (Cagub) atau mengajukan Calon Wakil Gubernur.
“Bahkan harus sangat selektif dan jangan sampai terjebak menerima tawaran menjadi Cawagub dari bacagub yang memiliki rekam jejak yang yang bermasalah,” demikian Eka Januar (foto) pengamat politik dan pemerintahan kepada Waspada.id di Banda Aceh, Jumat (23/08).
Eka melalui telepon selulernya menjawab Waspada.id terkait perkembangan yang mulai dinamis menjelang Pilgub Aceh, khususnya paska kegagalan Tgk. H. Muhammad Yusuf Abd Wahab alias Tu Sop untuk menjadi cawagub bagi cagub Muzakkir Manaf asal Partai Aceh (PA) yang menimbulkan pertentangan.
“Perilaku politik terkini yang saya pantau langsung di lapangan maupun melalui beragam platform media sosial paska terdepaknya Tu Sop dari bacawagub yang pernah mengharap untuk disandingkan dengan Muallem yang diusung PA itu menuntut kalangan komponen ulama untuk memiliki kejelian dan kecerdasan dalam melakukan seleksi agar tidaklah sembarangan menerima tawaran menjadi cawagub dari seorang bacagub baik langsung maupun melalui tim lobinya,” ungkap Eka.
Eka juga menjelaskan, PAS jangan sembarangan mengusung cagub atau cawagub dan atau menerima tawaran menempatkan cawagub untuk bersanding dengan cagub tertentu jika hanya sekedar karena reaksi emosional, rasa tidak enakan karena didatangi terus menerus atau karena merasa dihormati atau mungkin juga karena alasan hubungan lain yang tidak mampu menghadirkan cita-cita serta tujuan kebaikan, perubahan, kesejahteraan dan kemajuan bagi Aceh. PAS seperti setiap parpol lainnya adalah datang dari, didukung dan dibesarkan oleh rakyat, bukan milik komponen terbatas.
Menurut alumnus Universiti Kebangsaan Malaysia itu, bukan hanya PAS melainkan setiap parpol sebenarnya harus melakukan pertimbangan yang matang sebelum memutuskan setiap langkah politik serta selalu memprioritaskan terwujudnya cita-cita dan tujuan yang telah disepakati dalam Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangganya, juga tidak melanggar aturan yang telah ditetapkan dan diumumkannya sendiri ke publik tentang proses penjaringan bakal calon.
Konsekuensinya, Eka meneruskan, berarti bacagub/ bacawagub haruslah layak atau memenuhi persyaratan kepemimpinan, minimal sesuai tingkat jabatan seperti gubernur/ Wagub, tidak cukup sekedar memiliki popularitas tetapi kualitas, kapasitas, integritas, moralitas, pengalaman dan kriteria kriteria lain sesuai keAcehan dan keislaman misalnya— menjadi sangat penting dimiliki oleh kandidat yang akan didukung dan diusung.
Jadi Eka memberikan saran agar komponen ulama di Aceh dan termasuk parlok PAS jangan sampai keliru dalam menentukan langkah politik sehingga mau menerima tawaran menjadi cawagub bagi cagub yang penuh masalah, nakal, berperilaku bandit dan tidak layak sebagai pemimpin meskipun baru saja merasa dipermalukan oleh PA dengan penolakan terhadap Tu Sop. “Intinya setiap kebijakan politik yang diputuskan haruslah dengan penuh pertimbangan yang matang dan terbaik untuk masa depan rakyat Aceh,” imbuhnya.
Eka menyatakan, ini adalah dunia politik dan demokrasi yang sedang berjalan dalam suasana tidak terlalu sehat dari banyak sisi, lalu ia pasti akan semakin sakit dan bermasalah jika kehadiran komponen ulama dan PAS sebagai pendatang baru yang mulai terlibat langsung dalam politik praktis tidak mampu merespon keadaan dan momentum dengan tepat. Apalagi jika berpolitik sekedar ikut-ikutan tanpa memiliki prinsip dan ideologi, jangan sampai terjadi seperti itu.
“Bicara cagub-cawagub adalah bicara pokok kehidupan paling penting dan strategis, bukan sekedar kaitannya dengan jabatan dan kekuasaan yang ada aturan mainnya tetapi ia juga bicara kepemimpinan sesuai perkembangan dunia, kebutuhan setempat dan rakyatnya tanpa melupakan kepentingan yang dianggap berhubungan langsung dengan agama,” demikia Eka menutup pembicaraannya.(m14)