ACEH TAMIANG (Waspada.id): Abdul Karim, 50, salah seorang jurnalis yang bekerja di Aceh Tamiang mengisahkan. Pada malam lasa, 25 November 2025, bumi Aceh Tamiang meraung dengan gerusan hujan deras tanpa henti berhari-hari diiringi cahaya kilat yang memecah gelap dan angin kencang yang merobohkan segala sesuatu di jalannya.
Itu bukan sekadar hujan, itu adalah awal dari bencana yang akan dikenang sebagai banjir terparah sepanjang sejarah Aceh Tamiang. Secara perlahan namun pasti, air mulai menjalar. Air datang dari luapan Sungai Tamiang yang terus merayap dari halaman hingga menenggelamkan lantai.
Ketika hujan mengguyur serentak dari hulu hingga ke pesisir, kepanikan massal tak terhindarkan. Warga berpacu dengan waktu, menarik harta benda mereka sperti perabot, dokumen, hingga kendaraan ke tempat yang dianggap tinggi.
Namun, air memiliki kehendak sendiri, debit sungai terus mengamuk, dan malam itu berubah menjadi mimpi buruk yang dingin. Dalam kegelapan total, di tengah padamnya listrik, warga hanya bisa mengandalkan naluri. Tak ada waktu untuk beristirahat semua berlomba mencari dataran tertinggi, berjuang melawan arus yang mulai ganas.
Puncak kengerian terjadi keesokan harinya, Kamis, 27 November 2025. Luapan air melampaui batas imajinasi, mencapai ketinggian 3 hingga 5 meter. Rumah- rumah warga lenyap ditelan banjir bandang. Ditengah lautan keruk yang bergolak itu, banyak keluarga terjebak, terpaksa menahan dingin dan lapar di atas secuil atap yang tersisa.
Salah satu keluarga yang berada di titik nadir adalah keluarganya Abdul Karim (50), warga Kampung Alur Bemban. Ia bersama istri, empat anaknya yaitu, Muhammad Arfi, Afdilla Zikri, Cinta Salsabila, Luthfi Sakhi Zaidan dan adik iparnya, Fery Agustian, terjebak di lantai dua rumah mertuanya di Kampung Bukit Tempurung, Kecamatan Rantau.
Selepas magrib, ketakutan berubah menjadi teror ketika air sudah menjilat atap rumah. Anak-anaknya gemetar, menyaksikan rumah-rumah tetangga yang rapuh dan terseret air banjir satu per satu hanyut dibawa arus yang deras.
“Jeritan minta tolong menggantung di udara, namun di tengah badai itu, tak ada perahu, tak ada bantuan yang datang. Mereka benar-benar sendirian, ” ucap Abdul Karim yang juga anggota PWI Aceh Tamiang kepada Waspada.id Selasa (16/12) seraya mengisahkan juga, di saat keputusasaan mencekik, dirinya menemukan secercah harapan yakni seutas tali nilon tipis, tak lebih besar dari satu sentimeter. Itu adalah satu-satunya jembatan antara hidup dan mati.
Berbekal tali itu, ia menyusun rencana penyelamatan yang heroik. Satu per satu, ia mengikat badan anak-anaknya dari yang terkecil hingga yang tertua, lalu menyeberangkan mereka ke atap rumah tetangga yang posisinya sedikit lebih tinggi.
Jeritan dan tangis anak-anak pecah saat mereka dipaksa melompat ke dalam air yang ganas dan berputar, hanya untuk ditarik dengan sekuat tenaga oleh sang ayah. Istri dan adik iparnya pun diselamatkan dengan cara yang sama, menembus derasnya arus.
”Alhamdulillah, semuanya selamat, malam itu, kami berlindung dalam keadaan basah kuyup, menggigil di lantai dua rumah warga. Kami bersyukur pada seutas tali itu,” tutur Abdul Karim.
Malam itu, mereka lewati tanpa tidur, tanpa penerangan, tanpa komunikasi. Pakaian basah mengering di badan, ponsel mati, dan sinyal putus total. Hanya kedinginan dan gelap yang menjadi teman.
Abdul Karim menceritakan, ketika pagi menjelang, suara yang paling menyayat hati pun terdengar: “Ayah, mamak, kami lapar dan kami haus.”ucap Karim yang mendengar jeritan anak- ananya ditengah ganasnya aia banjir.
Tanpa pikir panjang, Abdul Karim memutuskan untuk mempertaruhkan nyawa. Ia berenang dan berjalan di atas genteng, melawan arus yang masih kuat, demi mencari sesuap nasi.
Setelah menempuh jarak sekitar 80 meter, ia menemukan rumah berlantai dua yang dijadikan tempat penampungan darurat.Di sanalah, pertolongan datang dari Kak Yus dan Wiwid, yang berbagi bekal seadanya. Dengan nasi dan air bersih terbungkus plastik, Abdul Karim kembali berenang, menyeberangi derasnya air dan memanjat atap, membawa pulang makanan yang terasa seperti emas bagi keluarganya yang kelaparan.
”Perjuangan ini berlangsung selama empat hari hingga bantuan makanan berdatangan, “terang Abdul Karim sembari mengurai kisah, ketika air mulai surut ke kedalaman 2,5 meter, dirinya kembali beraksi, tanpa uang di saku, ia memberanikan diri berutang 15 kg beras di warung milik Nova, adik dari Kak Yus.
Beras itu dimasak dengan kayu bakar, dalam kegelapan malam, menjadi hidangan pertama yang dimasak sendiri oleh keluarga ini pasca bencana.
Kini, lebih dari 20 hari berlalu sejak bencana terjadi, kondisi berangsur pulih meski listrik belum kembali menyala. Keluarga ini mulai membersihkan lumpur setebal 50 cm yang membusuk di dalam rumah mereka yang rusak berat.
Ucapan terima kasih juga disampaikannya untuk keluarga Kak Yus dan Wiwid serta Nova yang telah memberikan bantuan makanan dan minuman untuk keluarganya selama banjir.
Abdul Karim menutup kisahnya dengan pesan yang mendalam. Ia menyebut 2025 adalah tahun yang lebih buruk dari 1996, 2006, atau 2022. “Banyak yang kehilangan segalanya, bahkan nyawa, ” ungkap Karim sembari menyampaikan, mari jadikan musibah ini sebagai peringatan, dan mari kita tingkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. (Id76)











