SIGLI (Waspada.id): Desakan agar Pemerintah Aceh menetapkan moratorium industri ekstraktif menguat menyusul rangkaian bencana banjir yang dinilai sebagai dampak krisis ekologis berkepanjangan. Kunjungan Gubernur Aceh ke lokasi banjir dinilai belum menyentuh akar persoalan kerusakan lingkungan yang kian masif.
Praktisi Hukum dan Kebijakan Publik, Muharramsyah, Selasa (16/12), menilai penanganan bencana tidak cukup dilakukan melalui respons simbolik. Ia menegaskan Aceh membutuhkan langkah struktural, mulai dari moratorium total industri ekstraktif, audit menyeluruh, hingga keberanian politik memutus dominasi kebijakan pusat yang dinilai memperparah kerusakan ekologis daerah.
“Yang dibutuhkan bukan sekadar empati di lokasi bencana, melainkan keputusan tegas menghentikan industri perusak lingkungan,” ujar Muharramsyah di Sigli.

Menurutnya, absennya penyelesaian konflik agraria, meningkatnya laju deforestasi, serta ekspansi sawit dan tambang yang tidak terkendali telah menyebabkan ketimpangan ruang yang akut. Dampaknya, wilayah hilir Aceh menjadi semakin rentan diterjang banjir.
Data BNPB mencatat, bencana ekologis di Aceh telah menyebabkan 424 orang meninggal dunia, 32 orang hilang, dan 4.300 orang luka-luka. Sementara itu, data Greenpeace menunjukkan dalam satu tahun terakhir, deforestasi di Aceh mencapai 12.000 hektare, dengan 46 persen Daerah Aliran Sungai (DAS) berada dalam kondisi kritis akibat aktivitas perkebunan dan pertambangan.
Muharramsyah juga menyoroti belum ditetapkannya status Bencana Nasional Aceh. Ia menilai hal itu mencerminkan minimnya keberanian politik Pemerintah Aceh dalam menggunakan kewenangan khusus yang dimiliki untuk mempercepat penanganan darurat serta rehabilitasi dan rekonstruksi.
“Jika penyebab utama tidak diselesaikan, maka bencana berikutnya hanya tinggal menunggu waktu,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa bencana ini bukan semata akibat faktor alam, melainkan juga hasil dari keputusan politik, penguasaan lahan, dan pembiaran terhadap industri ekstraktif di kawasan hulu.
Sebagai solusi, Muharramsyah mengusulkan empat langkah konkret: moratorium seluruh industri ekstraktif di Aceh, audit nasional secara total dan terbuka, pencabutan izin permanen bagi perusahaan yang terbukti melanggar, serta penegakan hukum pidana maupun perdata tanpa pengecualian. (id69 )











