KUALASIMPANG (Waspada.id): Advokat Viski Umar Hajir Nasution, SH, MH dan Rahmi Aceh, SH dari Advokat –Konsultan Hukum Viski Nasution dan Rekan sudah memasukkan laporan kepada Ketua DPRK Aceh Tamiang untuk memproses dugaan pelanggaran kode etik oleh oknum anggota dewan yang bernitial DA.
“Ya, sudah kami masukkan laporan ke DPRK Aceh Tamiang pada hari Rabu (17/9/2025) siang ke Bagian Umum Sekretariat DPRK Aceh Tamiang,” ungkap Advokat Viski Umar Hajir Nasution, SH, MH yang didampingi rekannya Rahmi Aceh, SH kepada Waspada.id saat berada di Gedung DPRK Aceh Tamiang. “Kami, baik bersama-sama maupun masing-masing selaku penerima kuasa dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Kepentingan Warga Aceh Tamiang,” ungkap Viski.
Menurut Viski, perbuatan oknum anggota DPRK Aceh Tamiang yang diduga saat jam kerja sedang asik bermain sosial media dengan sumringrah dan dengan ekspresi wajah senang, mencederai hati masyarakat dan bertolak belakang dengan nilai-nilai moral apalagi tingkat kepercayaan kepada Dewan Perwakilan Rakyat sangat menurun akhir-akhir ini.

Adapun dasar dasar hukum laporan mereka yakni UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 17 Tahun 2014.
Selain itu, imbuh Viski, Peraturan DPRK Aceh Tamiang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Tata Tertib DPRK Aceh Tamiang dan Peraturan Bupati Aceh Tamiang Nomor 31 Tahun 2024 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Sekretariat DPRK Aceh Tamiang.
Bukan itu saja, ungkap Viski, ada juga living law yakni norma hukum yang hidup, diyakini, dan berlaku dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, berupa hukum adat dan kebiasaan, yang mendominasi perilaku masyarakat meskipun belum diatur. “Adanya laporan masyarakat tentang dugaan pemalsuan indentitas anggota dewan juga menjadi dasar hukum bagi kami membuat laporan ini untuk diproses,” tegas Viski yang diamini oleh Rahmi Aceh.
Menurut mereka, kasus ini berawal dari oknum anggota dewan yang berinisial DA dari Partai PAN di waktu jam kerja dan atau setidak-tidaknya berada di ruangan yang merupakan perkantoran DPRK Aceh Tamiang, diduga di Ruangan Komisi I, sedang asik bermain sosial media secara live dan ditonton para netizen melalui Tik Tok. “Hal ini sangat mencederai hati rakyat karena rakyat susah mencari kerja, pemuda kampung tak bekerja dan anak-anak banyak yang tidak sekolah. Hal ini yang menyebabkan warga Aceh Tamiang murka terhadap moral dan perilaku oknum anggota dewan tersebut,” ungkap Viski.
Selanjutnya, warga mengkritik dan atas kejadian tersebut DA merasa telah dicemarkan nama baiknya dan melaporkan warga yang mengkritik ke Polres Aceh Tamiang. Bahwa pada saat STTPL Polres Aceh Tamiang terbit, DA diduga memalsukan identitas pekerjaannya yang sesuai KTP adalah Ibu Rumah Tangga namun faktanya DA adalah Anggota DPRK Aceh Tamiang, diduga itulah penyebab STTPL bisa keluar hingga terhindar dari putusan MK.
Menurut Viski, tidak ada aturan hukum spesifik yang melarang seorang anggota dewan memalsukan pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga, namun tindakan tersebut bisa dianggap melanggar etika dan dapat berpotensi menimbulkan masalah jika berkaitan dengan pernyataan publik yang keliru atau penggunaan fasilitas negara. Namun, jika ada implikasi hukum, kemungkinan besar itu akan masuk dalam ranah kebohongan atau penipuan, bukan khusus karena profesinya sebagai anggota dewan.
Viski dan Rahmi Aceh menyebutkan bahwa kemungkinan oknum anggota dewan tersebut diduga melakukan pelanggaran etika karena anggota dewan memiliki kode etik yang harus dipatuhi dan pelanggaran pernyataan publik karena jika pernyataan “ibu rumah tangga” disampaikan dalam kapasitas resmi atau untuk memperoleh keuntungan pribadi, maka itu bisa menjadi pernyataan palsu.
Kedua advokat itu juga menyebutkan oknum anggota dewan tersebut diduga melakukan pelanggaran penyalahgunaan fasilitas negara karena jika menggunakan status “ibu rumah tangga” untuk mendapatkan akses atau fasilitas yang seharusnya tidak didapatkan, maka bisa masuk dalam kategori penyalahgunaan wewenang atau abuse of power.
Kedua advokat ini juga menegaskan bahwa aturan yang relevan yang diduga dilanggar oleh oknum anggota dewan tersebut yaitu UU MD3. “UU ini mengatur tentang jabatan dan pekerjaan yang tidak boleh dirangkap oleh anggota dewan. Namun bila snggota dewan yang memalsukan pekerjaan dapat dijerat pidana jika pemalsuan tersebut memenuhi unsur pidana dalam KUHP, seperti pemalsuan dokumen. Selain itu, perbuatan tersebut juga merupakan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Tata Tertib Anggota DPR/DPRD, yang dapat berujung pada sanksi pemberhentian sementara atau permanen sebagai anggota dewan. Selain itu, tegas Viski, ada dugaan pelanggaran Kode Etik dan Tata Tertib sebab ada peraturan yang mengatur bahwa anggota DPR/DPRD terikat pada Peraturan DPR dan Peraturan DPRD yang mengatur tata tertib dan kode etik mereka.
Menurut kedua advokat, memalsukan pekerjaan adalah pelanggaran berat terhadap kewajiban anggota dewan dan dapat dikenakan sanksi berat berupa pemberhentian sementara atau pemberhentian sebagai anggota. Ancaman pidana pasal pemalsuan dokumen yaitu jika pemalsuan pekerjaan melibatkan pembuatan surat atau dokumen palsu untuk tujuan penipuan, pelaku dapat diancam pidana berdasarkan pasal-pasal tentang pemalsuan dokumen dalam KUHP.

Viski mengingatkan penting untuk dicatat, tugas dan wewenang perbuatan memalsukan pekerjaan adalah tindakan yang melanggar integritas sebagai anggota dewan. Hal ini juga bertentangan dengan tanggung jawab dan kepercayaan publik yang diemban oleh anggota dewan. “Berdasarkan peraturan yang berlaku, pelanggaran berat terhadap kode etik bisa berakibat serius, termasuk pemecatan dari keanggotaan di Dewan Perwakilan Rakyat,” tegas Viski.
Viski juga menambahkan bahwa jika tindakan pemalsuan pekerjaan ini dilakukan dengan maksud menipu atau memperoleh keuntungan tidak sah, ada kemungkinan akan ada konsekuensi hukum dan etik. Namun, jika hanya sekadar pernyataan pribadi yang tidak berdampak hukum, maka mungkin tidak akan menjadi masalah hukum serius.
Viski mengatakan bahwa dan alasan itu, dimohonkan kepada Ketua DPRK Aceh Tamiang dan BKD DPRK Aceh Tamiang untuk memeriksa dan mengadili perkara ini, dan selanjutnya mohon untuk memberi jawaban dalam perkara ini.
Ketua DPRK Aceh Tamiang, Fadlon belum bisa dimintai komentarnya terkait kasus ini karena sedang melaksanakan tugas dinas luar bersama Forkompimda Aceh Tamiang.
Ketua Badan Kehormatan Dewan DPRK Aceh Tamiang, Hajarul Aswat ketika dikonfirmasi Waspada.id melalui pesan WhatsApp, Rabu (17/9) mengatakan pihaknya sedang mempelajari laporan dari masyarakat terkait kasus ini. “Sedang kami pelajari, nanti hari Senin, kami buat rapat BKD dengan pimpinan dewan terkait masalah ini,” tegas Hajarul Aswat .(id93)