SEJARAH peran heroik Radio Rimba Raya di Nanggroe Aceh Darussalam mengabarkan kepada masyarakat dunia bahwa Republik Indonesia masih ada dengan menggunakan Bahasa Indonesia, Inggris, dan Urdu pada saat Agresi Militer Belanda II dari Tahun 1948 – 1949, sudah tidak dapat dibatahkan oleh siapa pun.
Sejarah ini sudah ditulis dalam berbagai bentuk artikel dan buku, termasuk dalam insiklopedia digital (Wikipedia). Sejarah ini juga sudah diketahui oleh hampir semua anak negeri yang bernama Indonesia. Pada saat itu, Radio Rimba Raya dengan gagah perkasa dan dengan suara lantang menggelegar di udara mengatakan Indonesia masih eksis dan merdeka.
Mereka yang paling berjasa dalam mematahkan narasi Belanda yang menyatakan Indonesia sudah hancur dan sudah tiada kepada seluruh dunia adalah penyiar Radio Rimba Raya. Mereka itu adalah Syarifuddin, Ramli Melayu, M. Syah Asyik, Syarifuddin Taib, Syamsuddin Rauf, dan Agus Sam.
Mereka bertujuh menyampaikan kabar tersebut dalam bahasa Indonesia. Sedangkan dalam Bahasa Belanda disampaikan oleh W. Schutz dan dalam Bahasa Arab disampaikan oleh Abdullah Arief.
“Berkat suara lantang mereka yang menggelegar membelah udara di seluruh jagat raya lewat Radio Rimba Raya, telah berhasil membangkitkan dukungan internasional dan mengarah pada pengakuan kedaulatan Indonesia,” kata Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat – Persatuan Wartawan Aceh (DPP – PWA), Maimun Asnawi, S.Hi.,M.Kom.I, kepada Waspada.id, Selasa (16/12) sore di Gathaf Caffee Teupin Punti Aceh Utara.

Pada masa itu, sesuai bukti sejarah yang dia ketahui, sebut Maimun Asnawi, Indonesia dalam kondisi darurat. Yogyakarta berhasil direbut oleh Belanda, Radio Republik Indonesia (RRI) hancur. Kemudian, Belanda menyebarkan berita kepada masyarakat dunia bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada.
“Untung saja masih ada Radio Rimba Raya dari hutan Aceh di Kabupaten Bener Meriah saat ini, yang mematahkan narasi penjajah tersebut,” katanya.
Sembilan penyiar paling berjasa terhadap Republik Indonesia itu, kata Maimun Asnawi, di tengah hutan yang sangat luas, lebat dan masih belum dijamah oleh tangan – tangan penjahat atau oleh para bajingan, berteriak – teriak menyatakan Indonesia masih ada.
“Sekarang, belantara tempat Radio Rimba Raya berdiri di Dataran Tinggi Gayo telah dirambah; dibabat oleh para pembalak, hingga dataran luas yang indah dan ramai berubah menjadi daerah yang menakutkan akibat banjir bandang dan longsor yang terjadi Rabu, tanggal 26 November 2025. Bencana hidrometeorologi ini telah memutuskan akses jalan dan jembatan dan menciptakan krisis kemanusiaan di sana.”
Saat ini, masyarakat yang tinggal menetap di Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah (Takengon) dan Gayo Lues sedang dilanda situasi darurat berskala besar yang mengancam kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan. Di sana sedang terjadi penderitaan yang masif, ancaman kematian akibat kelaparan dan terjadi gangguan layanan dasar.
“Banjir bandang dan longsor telah melumpuhkan tiga kabupaten itu. Mereka terkurung di sana. Untuk menyelamatkan diri dari ancaman kematian akibat kelaparan, mereka berduyun – duyun turun gunung naik gunung menuju Aceh Utara dan Kabupaten Bireun untuk mencari logistik, obat – obatan dan BBM dengan cara membarter hasil kebun. Kondisi masyarakat tiga kabupaten itu cukup memprihatinkan,” sebut Maimun Asnawi, seraya menambahkan, ditambah lagi PLN yang padam dan hilang timbulnya jaringan telekomunikasi.
Tidak dipungkiri, sebut Maimun, ada bantuan yang berhasil didatangkan, tetapi telah dibuat pernyataan, kalau bantuan itu telah hilang. Jika pun ada bantuan yang berhasil diamankan, terkendala dalam pendistribusian disebabkan akses jalan dan jembatan yang putus atau tidak mempunyai BBM kendaraan.
Kondisi yang dialami oleh masyarakat Gayoe Lues, Aceh Tengah, dan Bener Meriah juga dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh Timur, Kota Langsa, Aceh Utara, Bireun, Pidie Jaya, Aceh Tenggara, Aceh Barat, Subulussalam, Aceh Selatan, Kota Lhokseumawe, Aceh Besar, Pidie dan beberapa kabupaten lainnya.
“Kondisi ini nyaris dirasakan oleh seluruh masyarakat Aceh, tapi masih dikatakan ini bencana biasa. Tidak membutuhkan bantuan luar. Pemerintah pusat meyakini mampu memperbaki seluruh kondisi yang telah hancur di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Padahal, Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, telah menyatakan, Aceh tidak sanggup dan kewalahan dalam menyelesaikan persoalan ini dan membutuhkan bantuan eksternal. Bencana ini telah menimbulkan pengungsian massal,” sebut Ketua DPP – PWA ini.
Kata Maimun, yang terkunci pascabencana bukan hanya dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di Kabupaten Aceh Tengah, Gayo Lues dan Kabupaten Bener Meriah, karena terisolasi akibat terputus akses, tapi juga dialami oleh masyarakat terdampak bencana di Pantai Timur Aceh.
“Bencana ini benar – benar telah mengganggu kehidupan dan penghidupan seluruh masyarakat Aceh. Jika pemerintah pusat tidak totalitas dalam menangani rehabilitasi dan rekontruksi, maka Aceh tidak akan pernah pulih, jika pun pulih dalam jangka waktu yang cukup lama. Sekarang ini bermacam gangguan terjadi di tenda – tenda pengungsian,” sebut Maimun lagi.
Karena memang dirasakan berat, Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, mengirimkan surat ke UNICEF dan UNDP untuk membantu Tanah Rencong dari keterpurukan pascabanjir bandang. Dua lembaga ini diyakini mampu mengatasi persoalan yang sedang dirasakan masyarakat Aceh, karena telah terbukti pada saat rehab dan rekon pascatsunami Aceh – Nias.

“Surat minta tolong ini dikirim oleh Muzakir Manaf, karena pemerintah pusat tidak kunjung menetapkan bencana hidrometeorologi yang melanda Aceh, Sumut, dan Sumbar sebagai bencana nasional. Pun demikian, dua lembaga ini tidak dapat bergerak karena terkendala aturan. Indonesia menyatakan sanggup memperbaiki setiap kerusakan yang terjadi di Aceh pasca bencana. Dan memang status bencana nasional tidak diberikan,” katanya.
Semoga, sebut Maimun Asnawi, pernyataan Presiden Parbowo, bahwa Indonesia mampu menangani masalah ini tanpa bantuan luar negeri dapat dibuktikan dan pemulihan segera dapat dilakukan. Pascabencana terjadi, tidak terbilang jumlah rumah warga Aceh yang rusak ringan, berat dan bahkan banyak rumah masyarakat yang hilang diseret arus.
Ribuan hektare lahan persawahan warga Aceh yang tidak dapat difungsikan karena tertimbun lumpur, tidak sedikit waduk yang rusak dan tanggul irigasi yang jebol. Belum lagi areal perkebunan, pertambakan, desa hilang, cukup banyak ruas jalan yang rusak dan jembatan yang terputus. Perekonomian warga terdampak hancur, seperti hancurnya hati masyarakat Aceh yang merasa diabaikan.
“Dulu, Aceh, dari belantara Bener Meriah lewat Radio Rimba Raya, pada saat terjadi Agresi Militer Belanda II, Aceh berteriak membantah narasi Belanda bahwa Republik Indonesia masih ada. Kemudian mendapat perhatian masyarakat dunia hingga Indonesia mendapatkan kedaulatan. Semoga, teriakan Gubernur Aceh, Muzakir Manaf didengar dan disahuti oleh Pemerintah Pusat, kalau Aceh membutuhkan bantuan mereka. Jangan sampai air susu dibalas air tuba,” demikian Maimun Asnawi. (id70)











