MENGAPRESIASI Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) haramkan pajak sembako, pemerintah diminta terapkan sistem pajak berkeadilan.
Fatwa ini dinilai sebagai solusi untuk perbaikan regulasi perpajakan dan mendorong peningkatan kesadaran publik terkait pentingnya sistem pajak yang adil, transparan dan berpihak kepada rakyat.
Apresiasi disampaikan Wakil Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang (PBB), Dr. Drs. Ali Amran Tanjung, SH, M.Hum (foto) dalam rilisnya, Kamis (27/11).
Memastikan dukungan penuh untuk direalisasikan fatwa itu, tokoh senior
Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) dan Mustasyar atau Penasehat Nahdlatul Ulama (NU) Sumatera Utara ini akui, PBB sejalan dengan MUI, tolak pajak kebutuhan pokok karena dinilai tidak adil, bahkan memberatkan masyarakat kecil.
“PBB mendukung sepenuhnya Fatwa MUI ini dan pemerintah diharapkan mempertimbangkan kebijakan pajak yang lebih adil, berpihak pada rakyat,” rilis Ali.
Ketua Pimpinan Wilayah Partai Muslimin Indonesia (PW Parmusi) Sumut ini menegaskan, pengenaan pajak sembako dan kebutuhan dasar lainnya tidak sesuai dengan prinsip keadilan sosial serta bertentangan dengan semangat perlindungan terhadap kelompok ekonomi lemah.
“Kami berharap, pemerintah dapat mendengarkan aspirasi masyarakat dan MUI dalam membuat kebijakan pajak serta mendorong pemerintah mempertimbangkan fatwa tersebut dalam penyusunan kebijakan nasional,” pesan Ali.
Diketahui, pada Musyawarah Nasional (Munas) X MUI 20 s/d 23 November di Jakarta, Ketua Bidang Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh menegaskan, idealnya pajak hanya dibebankan bagi warga yang punya kemampuan finansial memadai, sementara pajak atas kebutuhan pokok dinilai tidak mencerminkan keadilan.
Terkait batas kemampuan finansial, diusulkan merujuk pada nisab zakat mal 85 gram emas, dijadikan dasar penentuan ambang kewajiban pajak.
Pemerintah direkomendasikan untuk meninjau ulang pajak progresif dan sejumlah beban perpajakan lain yang dinilai memberatkan masyarakat, termasuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) rumah berpenghuni dinilai tidak layak dikenai pajak berulang.
Fatwa ‘Pajak Berkeadilan’ disebut solusi untuk perbaikan regulasi dan dikeluarkan merespon kegelisahan masyarakat akibat kebijakan perpajakan dinilai tidak proporsional.
Objek pajak sesuai Fikih, menurut Niam Sholeh, Guru Besar Ilmu Fikih UIN Jakarta ini hanya untuk harta produktif. Dalam perspektif syariat, objek pajak mestinya hanya dikenakan pada harta yang produktif atau termasuk kebutuhan sekunder dan tersier (hajiyat dan tahsiniyat), bukan kebutuhan pokok rakyat. (id90/WASPADA.id)












