Aceh

Banjir Pidie Hancurkan Mata Pencaharian Warga

Banjir Pidie Hancurkan Mata Pencaharian Warga
Seorang ibu korban banjir di Pidie memegang bayinya di gendongan, sementara anak perempuannya menatap kosong, mencerminkan kesulitan dan ketidakpastian yang dihadapi keluarga pasca bencana. Waspada.id/Muhammad Riza
Kecil Besar
14px

SIGLI (Waspada.id) : Banjir besar yang melanda Kabupaten Pidie, Aceh, pada 26 November 2025 telah menghancurkan rumah, warung, kios, dan lahan pertanian warga, menyebabkan ribuan warga kehilangan mata pencaharian dan mengalami kesulitan hidup.

Sejumlah korban menyampaikan kesulitan mereka. Ramad, 46, nelayan di Kembang Tanjong, kehilangan perahu dan jaring akibat banjir. “Saya hidup dari laut. Sekarang perahu dan jaring saya hanyut. Bagaimana saya bisa memberi makan keluarga saya?” ujarnya.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Zainab, 39, pemilik kios, menyebut bantuan sembako yang diterimanya tidak cukup untuk memulai kembali usaha. “Anak-anak saya butuh sekolah. Kami butuh pekerjaan. Kalau begini terus, kami akan miskin lebih lama,” katanya.

Ikram, petani kopi di Blang Pandak, mengalami kerusakan total pada kebunnya. Ia menuturkan keluarganya terancam tidak makan, karena tanah kebun rusak sehingga tidak bisa diolah lagi.

Selain kerusakan fisik, warga juga menanggung tekanan psikologis akibat komentar yang merendahkan korban di media sosial. Ilham, warga Pidie, menyesalkan akun TikTok yang menghina dan merendahkan nasib warga terdampak banjir di Aceh. “Setiap hari kami berjuang untuk makan dan bertahan hidup. Tetapi mereka hanya menghina dan merendahkan kami suku Aceh korban banjir” ujarnya.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pidie mencatat 14.236 kios/warung terendam, 2.054 hektare lahan pertanian terendam, 721 hektare rusak, 1.276 hektare tambak terendam, 1.781 hektare rusak, 18 jembatan rusak, 44 sekolah, 22 pesantren, enam masjid, serta fasilitas kesehatan terdampak.

Evakuasi dan bantuan sebagian besar digerakkan oleh pemerintah kabupaten, relawan lokal, dan masyarakat. Bantuan pemerintah pusat belum terlihat signifikan. Ramad menekankan pentingnya dukungan untuk memulihkan mata pencaharian warga.

“Kami harus membersihkan sendiri. Saya tidak punya modal untuk beli perahu baru, apalagi jaring,” ujarnya.

Pengamat menyebut bencana ini sebagai krisis penghidupan (livelihood crisis). Tanpa intervensi pemerintah pusat berupa modal usaha, subsidi benih, alat produksi pertanian, dan jaminan sosial, warga Pidie menghadapi ketidakpastian jangka panjang.

Banjir Pidie menjadi pengingat bahwa di balik data dan statistik terdapat manusia yang kehilangan rumah, mata pencaharian, dan masa depan mereka. Tanpa kebijakan pemulihan yang terstruktur, kesedihan dan ketidakpastian akan terus membayangi warga terdampak. (Id69)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE