Laporan: Muhammad Riza || Waspada.Id || Sigli – Aceh
Di Kota Sigli, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, air bah bukan hanya mengubah jalan-jalan menjadi sungai sementara, tetapi juga menggeser cara warga memaknai bencana.
Ketika hujan deras turun berhari-hari, mengubah tanah lapang menjadi rawa mendadak dan menutup akses menuju pusat pemerintahan, sebagian warga justru melihat peluang, sebuah tradisi lama yang kembali hidup: berburu ikan di genangan banjir.
Pagi itu, Kamis (27/11), kawasan jalan lingkar di depan Gedung Pidie Convention Center (PCC) diguyur hujan sisa malam. Air meluap dari alur sungai di sebelah utara dan perlahan menutup badan jalan, mengubahnya menjadi bentang air selebar hampir 40 meter. Di tengah kondisi itulah, belasan warga mulai berdatangan membawa jue (jaring lempar tradisional-red) yang telah digunakan turun-temurun.

Suara jaring menghantam permukaan air terdengar seperti denting yang berulang debam… debam… debam… Di sepanjang genangan itu, tercipta semacam pasar dadakan. Para lelaki berdiri dengan celana dilipat sampai lutut, sebagian merokok sambil menunggu ikan melintas.
Perempuan dan anak-anak menyemut di pinggiran, menonton sambil sesekali memberi sorak kecil ketika jaring terangkat dalam keadaan penuh. “Saya cuma menonton saja, ikannya biar orang lain yang cari,” ujar Dewi, perempuan 34 tahun yang datang bersama sepupunya.
Ia menyunggingkan senyum sambil menggigit lengan baju untuk menahan dingin. Namun pandangannya tidak pernah lepas dari air yang beriak setiap kali jue dilempar.
Jue, jaring berdiameter mencapai dua meter lebih, dilengkapi pemberat timah di sekelilingnya menjadi senjata utama warga. Alat ini sederhana, tanpa mesin, tanpa racun. Para lelaki mengayunkannya dengan gerakan melingkar seperti menebar kain besar ke udara. Ketika menyentuh air, lingkar jaring menutup rapat, menjebak ikan-ikan yang terseret arus banjir.
Di genangan depan PCC, ikan yang muncul mayoritas kruep, ikan gabus, mujair, ikan koi sisa kolam warga, sampai bandeng yang diduga hanyut dari empang di kawasan empang belakang jalan lingkar. “Biasanya enggak dapat sebanyak ini,” kata Safwadi, warga Kota Sigli yang hampir tiap banjir turun bermain jue.
Ia mengangkat ember berisi tujuh ikan bermacam ukuran. “Air naik begini, ikan keluar semua dari alur sungai.” ujarnya.
Fenomena ini bagi sebagian warga merupakan “musim panen darurat.” Usai hujan deras, ikan-ikan yang kehilangan habitat sementara mencari tempat aman dalam genangan luas. Warga pun memanfaatkan momentum itu untuk mengisi dapur, bahkan sebagian menjual tangkapan kecil-kecilan.
Namun keberkahan kecil itu terjadi di tengah situasi yang jauh dari ideal. Curah hujan tinggi di Tangse dan Tiro, dua kawasan pegunungan yang mengalirkan air ke dataran Sigli dan sekitarnya menyebabkan luapan yang tidak terelakkan. Jalan lingkar yang biasanya aman dari banjir, tahun ini tidak luput dari genangan.
Di Gampong Bambi Bale On, Seupeng, hingga area Indrajaya, aliran air meluberi persawahan. Tanah yang dibajak menjadi laut dadakan dengan air cokelat keruh. Bagi petani, ini bukan kesempatan menangkap ikan; ini ancaman gagal tanam. Namun di waktu yang sama, di tepi sawah yang sama, suara tawa dari para pemburu ikan justru berbaur dengan keluhan para pemilik lahan.
“Air kali ini deras sekali. Dari hulu datangnya, jadi tidak sempat diserap tanah,” kata Hasan, petani padi yang memilih berdiri di pematang sambil mengamati warga menangkap ikan. Ia mengembuskan napas panjang. “Bagus untuk ikan, tidak bagus untuk tanaman.” katanya.

Tidak jauh dari lokasi warga menebar jaring, pusat pemerintahan Kabupaten Pidie justru lumpuh. Halaman Kantor Bupati Pidie tergenang hingga lutut orang dewasa. Jalan samping yang menghubungkan ke Dinas Pertanian dan Pangan berubah jadi kolam setempat. Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Kesbangpol, hingga Disparpora ikut tersentuh banjir.
Murid sekolah yang hendak berangkat terpaksa memutar. Pegawai negeri menunggu air surut sambil berdiri di teras kantor. Beberapa perkantoran bahkan memutuskan tutup sementara. Ironisnya, di depan kantor DKP, dinas yang mengatur urusan perikanan daerah genangan itu justru menjadi ruang baru bagi ikan-ikan hanyut dan warga yang memburunya.
Dalam kondisi demikian, kehidupan sosial warga berjalan seperti dua sisi koin, satu menahan cemas, satu lagi merayakan peluang seadanya.
Di satu sisi, warga kehilangan akses dan aktivitas terganggu. Pengungsi di beberapa titik mulai bertambah. Sawah tergenang, ternak sebagian terjebak di kandang, dan jaringan listrik sempat redup. Namun di sisi yang lain, warga menemukan cara untuk tetap berdaya menangkap ikan bukan hanya untuk makan, tetapi juga sebagai cara menyiasati suasana yang tegang.
Anak-anak bersorak ketika seekor mujair besar tersangkut di jaring. Para lelaki tertawa ketika salah satu dari mereka terpeleset ke air. Perempuan-perempuan membawa ember plastik, menampung ikan yang masih meloncat-loncat. Di sepanjang genangan, suara mereka seolah memecah warna muram badai yang belum usai.
Begitulah banjir bagi warga di Kota Sigli, Kabupaten Pidie ancaman dan hiburan, bencana dan berkah kecil; kesulitan yang tetap dihadapi dengan akal dan keriuhan spontan.
Selama air terus naik dan turun, selama sungai membawa serta isinya ke jalan-jalan, jue akan tetap dilempar, seperti penanda bahwa hidup bisa tetap berjalan meski dunia tiba-tiba berubah menjadi laut dangkal. Muhammad Riza/WASPADA.id












