Di sana, di antara aroma nasi dan rebusan sayur, sebuah program mulia sempat terguncang oleh satu bogem tanda bahwa di dapur yang ditujukan untuk memberi gizi anak-anak Pijay, amarah manusia masih bisa lebih panas dari api kompor.
Kamis, 30 Oktober 2025 pagi, aroma nasi seharusnya memenuhi dapur Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) Yayasan Pionir di Gampong Sagoe, Kecamatan Trienggadeng, Kabupaten Pidie Jaya (Pijay).
Di ruang sederhana yang dipenuhi panci besar dan wadah logam, puluhan perempuan bekerja dengan langkah terbiasa menanak, mengaduk, mengemas. Tetapi sekitar pukul 08:00 WIB, bau nasi tiba-tiba kalah oleh suara bentakan.
Beberapa pekerja menunduk, tangan mereka berhenti di atas sendok nasi. Ada yang menitikkan air mata. Dapur yang biasanya riuh oleh suara sendok dan obrolan berubah menjadi ruang yang sunyi oleh takut.
Hasan Basri, Wakil Bupati (Wabup) Pijay, datang tanpa aba-aba pagi tadi. Ia melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke dapur MBG, program pemerintah pusat yang menyediakan makanan bergizi untuk anak-anak sekolah. Namun yang terjadi bukan sekadar pemeriksaan. Di antara panci dan nasi dingin, amarah ikut mendidih.
“Beliau bilang nasi basi, padahal kami memang dinginkan dulu sebelum dikemas. Kalau panas, justru cepat basi karena beruap,” ujar salah seorang pekerja, pelan.
Muhammad Reza, kepala dapur MBG yang juga warga Gampong Mesjid Trienggadeng, datang beberapa menit setelah Hasan Basri tiba. Ia tidak menyangka kedatangannya disambut bukan dengan jabatan tangan, mekainkan dengan bogem mentah. Bham, bhum!! pukulan jep tangan sang Wabup Pijay melayang kuat ke wajah Muhammad Reza.
“Saya hendak memperkenalkan diri, baru mau salami beliau, langsung ditonjok di wajah,” kisah Reza. “Semua pekerja menangis. Beliau obrak-abrik opreng nasi, marah besar,” cerita Reza.

Pukulan itu meninggalkan memar di pipi kiri Reza. Ia sempat dirawat di Puskesmas Trienggadeng. Sekitar 35 orang menyaksikan kejadian itu, 16 di antaranya ikut dihardik di depan tumpukan nasi yang baru saja matang.
Koordinator Dapur MBG Wilayah Pidie Jaya, Ahlul, membenarkan laporan itu. Ia menuturkan pihak yayasan telah menindaklanjuti dan melaporkan kasus ini ke kepolisian. “Kami juga sudah kirim laporan ke pusat,” ujarnya.
Hasan Basri tidak menampik. Ia mengakui bahwa amarahnya meledak pagi itu. “Betul, saya pukul. Saat sidak kita temukan makanan tidak standar nasi keras, dingin, bahkan ada laporan pisang busuk,” katanya tanpa banyak basa-basi.
Menurutnya, tindakan itu spontan, lahir dari rasa tanggung jawab terhadap program yang ia anggap sakral: memberi makan anak-anak sekolah dengan makanan bergizi dan layak.
“Kalau anak-anak makan nasi seperti itu, siapa yang tanggung jawab? Itu moral saya,” ujarnya.
Namun, di dapur sederhana tempat peristiwa itu terjadi, tanggung jawab yang ideal bertemu dengan tangan yang terlanjur mengepal. Antara niat baik dan kekerasan, batasnya kabur pagi itu seperti uap nasi yang belum sempat naik ke udara.
Sore hari, laporan resmi sudah masuk ke Polsek Trienggadeng. Belum ada pernyataan dari kepolisian. Di dapur Sagoe, para pekerja kembali menanak nasi, tetapi kini dengan langkah yang lebih pelan, seolah setiap bunyi sendok bisa memanggil kembali ketakutan tadi pagi.
“Kami tetap kerja,” bisik seorang perempuan sambil menata lauk ke dalam kotak. “Anak-anak tetap harus makan. Tetapi rasanya masih takut.”
Di luar dapur, angin laut Trienggadeng bertiup lembut, membawa kabar dari ruang yang mestinya penuh kasih. Di sana, di antara aroma nasi dan rebusan sayur, sebuah program mulia sempat terguncang oleh satu bogem tanda bahwa di dapur yang ditujukan untuk memberi gizi anak-anak Pijay, amarah manusia masih bisa lebih panas dari api kompor.
Muhammad Riza













