SIGLI (Waspada.id): Di sebuah warung kopi di jantung Kota Sigli, Kabupaten Pidie, Rabu (22/10) siang yang teduh itu, Muhammad Riza, wartawan senior yang akrab disapa Boim menyeruput kopi hitamnya pelan.
Tatapannya tajam, namun kalimatnya terukur. Ia bukan sedang membicarakan politik atau proyek pembangunan, melainkan soal yang jauh lebih penting bagi dunia yang digelutinya: masa depan jurnalisme di Pidie.
“Selama ini, wartawan seolah cuma jadi tong sampah informasi,” ujarnya lirih, tapi tegas. “Cuma dikirimi rilis kegiatan pejabat, lalu diminta menulis tanpa boleh bertanya,” katanya tegas.
Boim, yang juga anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Pidie, menyimpan keresahan yang banyak dirasakan rekan-rekannya di lapangan. Hubungan antara insan pers dan pemerintah daerah, katanya, semakin timpang. Wartawan kerap diposisikan sekadar pelengkap seremonial, bukan mitra kritis yang membantu publik memahami kebijakan.
Ia menilai perubahan struktur birokrasi turut memperlebar jarak itu. “Dulu, Humas di Setdakab Pidie masih terbuka, bisa berdiskusi langsung. Sekarang, setelah dipindahkan ke Dinas Infokominsa, semuanya terasa kaku dan birokratis,” ujarnya.
Bagi Boim, perubahan ini bukan sekadar soal tempat atau jabatan, melainkan soal ruang komunikasi. Ketika pemerintah mulai menutup diri, media kehilangan akses untuk memeriksa dan menyampaikan kebenaran. Dan ketika media hanya menjadi penyalur rilis, publik pun kehilangan kesempatan untuk tahu lebih dalam.
Namun, Boim tidak datang membawa amarah. Ia membawa tawaran. “Solusinya bukan saling menyalahkan,” katanya. “Kita harus membangun kembali komunikasi dua arah. Pemerintah perlu melihat wartawan sebagai mitra, bukan lawan.” tegas Boim.
Ia mendorong setiap Satuan Kerja Perangkat Kabupaten (SKPK) membuka diri menggelar konferensi pers, jumpa wartawan, atau sekadar wawancara terbuka.
“Dengan membuka ruang dialog yang sehat, pemerintah bisa mencegah kesalahpahaman dan memastikan masyarakat mendapat informasi yang benar,” tegasnya.
Menurut Boim, pengendalian informasi bukan berarti membatasi, tetapi memastikan setiap berita bisa dipertanggungjawabkan. “Pemerintah menyampaikan, pers menelusuri, masyarakat menilai. Itu mekanisme sehat demokrasi,” katanya.
Menjelang siang, Boim menatap jalanan Sigli yang ramai. Ia tersenyum kecil, seolah masih menyimpan harapan.
“Kalau pemerintah terus menutup diri, jangan salahkan kalau publik kehilangan kepercayaan,” ujarnya pelan. “Tapi kalau terbuka dan bersahabat, media akan jadi mitra paling kuat dalam membangun kepercayaan itu.” ( Id77)