ACEH TAMIANG (Waspada.id): Banjir bandang yang menerpa Kabupaten Aceh Tamiang akhir November 2025 lalu, kini meninggalkan jejak perkampungan yang hancur, akses-akses jalan darat yang rusak dan jembatan runtuh diterjang air, serta ribuan warga yang masih mengungsi karena rumah mereka alami kerusakan.
Pelaksana Kepala Pelaksana (Kalak) BPBD Aceh Tamiang, Iman Suhery, SSTP, MSP, menjadi titik koordinasi seluruh gerak penanganan pada Jumat (12/12) menyampaikan, pihaknya sudah menyalurkan tenda keluarga yang dikirimkan BNPB sebanyak 876 unit ke kampung-kampung terdampak.
Disebutkannya, tenda – tenda itu telah menyebar ke empat kecamatan yaitu, Kota Kualasimpang, Karang Baru, Rantau, dan Sekerak, terutama ke Kampung Sekumur dan Lubuk Sidup, dua wilayah yang terdampak paling parah juga.
Tenda tersebut menjadi harapan baru, tempat tidur sementara bagi keluarga yang kehilangan rumah, tempat anak-anak bisa berlindung dari hujan malam, tempat perempuan tua bisa merebahkan badan tanpa takut tanah bergetar karena arus sungai. “Semua yang diberikan BNPB sudah kita distribusikan sesuai penempatan dan arahan. Kita prioritaskan kampung yang betul-betul sangat terdampak,” jelasnya.
Distribusi baru dapat bergerak cepat setelah akses darat Medan–Kualasimpang kembali terbuka pada 2 Desember 2025. Jalan nasional yang sebelumnya tersumbat lumpur dan runtuhan kini bisa dilewati truk-truk logistik, menghidupkan kembali jalur utama bantuan bencana.
Iman Suhery mengatakan, BNPB pusat kini mengirimkan 1000 tenda keluarga tambahan ke Aceh Tamiang. Tenda-tenda ini akan menjadi penyangga kehidupan bagi wilayah-wilayah yang hingga kini masih terputus aksesnya.
“Kita sedang fokus untuk kampung yang belum terjangkau. Meski jalur darat belum bisa ditembus, kita upayakan lewat jalur sungai. Itu satu-satunya jalur yang memungkinkan menjangkau wilayah terisolir,” ungkap Suhery.
Meski, arus sungai membawa lumpur, batang pohon tumbang, dan batang – batang sawit yang hanyut, namun para petugas BPBD tetap berangkat, dengan perahu yang sesekali harus berhenti karena ranting besar menutup jalur. Mereka membawa tenda, air bersih, beras, dan pakaian, sementara di sisi sungai, ratusan warga masih menunggu tanda-tanda bantuan.
“BPBD Aceh Tamiang bekerja 24 jam, semua dikendalikan dari posko induk ini yang berada di komplek kantor Bupati Aceh Tamiang,” kata Suhery seraya menyampaikan, petugas-petugas BPBD bekerja dengan wajah yang pucat oleh kurang tidur. Ada yang baru kembali dari distribusi ke Kecamatan Sekerak, ada pula yang bersiap mengarungi jalur sungai menuju pedalaman.
Mendistribusikan tenda bukan sekadar menghidupkan mesin truk atau mengisi bensin boat. Ada kampung yang hanya bisa dijangkau setelah jalanan berlumpur dikeruk manual oleh warga. Ada perahu yang harus ditarik melawan arus. Ada jembatan gantung yang hanya tinggal setengah badan.
“Kalau ada jalur darat terbuka, kita masuk, kalau tidak, kita paksa cari jalur lain, yang penting bantuan sampai,” kata salah satu petugas BPBD.
Mungkin kita ketahui bersama, beberapa tenda yang sudah berdiri tampak seperti pulau-pulau kain biru dan kuning, di tengah daratan yang basah. Bagi warga terdampak banjir, tenda bukan kemewahan. Itu adalah pernyataan bahwa mereka masih punya tempat untuk pulang, meski sementara.
Namun di tengah kekalutan itu, upaya BPBD dan BNPB memberi sedikit ruang untuk kembali berdiri. Iman Suhery menggambarkan seluruh denyut kerja kemanusiaan yang sedang berlangsung, selama masih ada warga yang belum tersentuh bantuan, BPBD tidak punya istilah istirahat.
Di balik tenda-tenda keluarga yang kini berdiri di dataran-dataran berlumpur Aceh Tamiang, tersimpan perjalanan rumit bernama akses, koordinasi, dan waktu yang hilang.
Bencana ekologi geometeorologi awal Desember itu bukan hanya merendam rumah dan sawah, melainkan juga tunjukkan masalah lama, rapuhnya infrastruktur penopang kehidupan di hilir sungai Tamiang.
Ketika air bah menutup lintas negara Medan–Kualasimpang (Aceh Tamiang), sepanjang beberapa kilometer, Aceh Tamiang berubah menjadi kepulauan kecil yang saling terputus.
Kampung-kampung hanya bisa diakses dengan perahu darurat atau helikopter jika cuaca mengizinkan. Pada titik itu, BPBD Aceh Tamiang harus menghitung jam, bukan hari untuk memastikan bantuan dari BNPB Pusat tidak tertahan di gudang.
Sebelum 2 Desember akses belum memungkinkan, truk logistik tidak mungkin memaksa masuk, jembatan dan ruas jalan digenangi air setinggi 2 meter, dan jaringan listrik padam total.
Mukim Kemukiman Bandar Pusaka, Ucak, adalah satu dari puluhan saksi yang mengalami bagaimana isolasi itu membuat warga seperti hidup di ruang hampa. akses baru terhubung 2 Desember. “Begitu jalan bisa dilalui, BPBD langsung bergerak, tanpa itu, tenda keluarga BNPB mustahil bisa masuk ke kampung kami,” ujarnya.
Distribusi tenda BNPB Pusat dilakukan dalam kurun waktu 24 jam setelah akses utama bisa dibuka. Artinya, bukan soal lambatnya respons, melainkan hambatan fisik yang membuat mobilitas lumpuh.
Dalam catatan BPBD, setidaknya 876 tenda keluarga disiapkan untuk didorong ke wilayah terdampak. Namun distribusi dilakukan bertahap berdasarkan prioritas seperti, Kampung yang terendam total, kampung terisolir, kampung dengan kehilangan rumah terbanyak.
Datok Penghulu Lubuk Sidup, Kecamatan Sekerak, Ibrahim menjadi garda komunikasi terakhir antara warga dan pemerintah. “Kami bukan menuntut cepat, tapi kami butuh kepastian. Begitu BPBD bisa masuk, bantuan langsung turun, itu kerja yang harus kami akui,” terangnya.
Keterangan lapangan menunjukkan rombongan BPBD harus memaksa menembus lumpur sedalam lutut, menggunakan perahu kecil di ruas-ruas tertentu, dan mengangkut tenda secara manual sepanjang ratusan meter karena jalan tidak dapat dilalui kendaraan.
Musibah banjir Aceh Tamiang menyisakan kerusakan infrastruktur memperpanjang derita warga hingga dua kali lipat. Listrik padam, jaringan Telkom mati, ambulans tak dapat lewat, dan jalur suplai logistik lumpuh. Bahkan tiap Datok Penghulu menjadi posko mandiri karena komunikasi resmi tak dapat dilakukan.
Tenda keluarga memang solusi jangka pendek, tetapi pemulihan jangka panjang harus menyentuh akar masalah. Yang harus dipulihkan cepat adalah PLN, jalan kampung , rumah sakit, dan telekomunikasi. Tanpa itu, bantuan terputus di tengah jalan.
Kondisi serupa juga muncul di Kecamatan Bandar Pusaka, wilayah yang dicatat BPBD sebagai titik terdampak. Di sana, warga Bandar Mahligai bercerita bagaimana mereka bertahan dua malam di bukit kecil karena rumah mereka tenggelam hingga ke atap.
Ucok, warga setempat, ingat betul bagaimana tenda keluarga tiba sehari setelah distribusi dari BNPB Pusat. Bantuan datang sehari setelah diterima BPBD. Itu cepat. Yang membuat lama ya karena akses rusak. Kalau semua pihak bersatu, Tamiang bisa bangkit lebih baik.
Distribusi tenda keluarga dilakukan dalam tiga gelombang, gelombang pertama hari akses terhubung, fokus ke daerah paling parah, Bandar Mahligai, Lubuk Sidup,Tamiang Hulu dan Bandar Pusaka. Kendala adalah akses amblas, jembatan putus, kendaraan mutlak tidak dapat masuk.
Gelombang kedua masuk ke kampung yang sebelumnya hanya terendam tapi tidak sepenuhnya terisolir yaitu Bandar Pusaka, Tamiang Hulu. Kendala banjir surut tapi jalur berlumpur berat. Gelombang ketiga distribusi dilakukan secara merata untuk kampung yang kembali dihuni warga setelah air mulai surut.
Tenda kelurga menjadi penting di tengah kondisi musibah karena sebagian besar warga kehilangan rumah atau rumah mereka tidak layak huni. Tenda keluarga menjadi ruang aman pertama, tempat ibu-ibu menyiapkan makanan, anak-anak beristirahat, dan orang tua mengumpulkan kembali dokumen penting. Itulah sebabnya BNPB Pusat mengirimkan tenda sebanyak mungkin dan BPBD menjadi eksekutor utama di lapangan.
BPBD bergerak dalam hitungan jam, bukan hari,tidak ada tumpukan bantuan yang mengendap di gudang, tidak ada antrean logistik menunggu distribusi dan semua bergerak simultan.
Di tenda-tenda pengungsian, suara warga rata-rata senada, bantuan yang datang cepat mengurangi panik, tetapi mereka berharap pemerintah bergerak dalam tahapan seperti respons darurat yang cepat dan pemulihan infrastruktur yang berkelanjutan (masih menjadi pekerjaan besar).
Ucapan terima kasih warga yang terdampak bukanlah bentuk euforia, tetapi ekspresi lega setelah terjebak dalam ketidakpastian bertubi-tubi. Aceh Tamiang jelas masih terluka, namun dari tenda-tenda sederhana itu, satu pesan tetap berdiri tegak, bangkit itu mungkin. Asal jalan menuju bangkit tidak kembali runtuh.(id76)











