KUALASIMPANG (Waspada.id): Dari lahan aset negara PT. DJ diduga berpotensi akan muncul tersangka baru lainnya yang mengelola aset sebagai barang bukti yang disita negara, tetapi hasil produksi dari lahan tersebut diduga tidak disetorkan ke kas negara.
Menurut pandangan praktisi hukum Viski Umar Hajir Nasution, SH, MH, ketika dikonfirmasi Waspada.id melalui telepon, Minggu (10/8), menegaskan status hukum lahan yang disita tersebut berdasarkan Surat Perintah Penyitaan Kejati Aceh Nomor: PRINT-34/L.1/Fd.1/01/2023 tanggal 25 Januari 2023, dan Penetapan Pengadilan Negeri Kuala Simpang Nomor: 351/Penpid.B-SITA/2023/PN Ksp tanggal 27 Juni 2023, maka lahan seluas ±877 hektare milik PT Desa Jaya Alur Meranti sah secara hukum telah disita sebagai barang bukti dalam perkara pidana korupsi.
Viski memaparkan bahwa begitu juga dengan lahan PT Desa Jaya Alur Jambu yang disita Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh, berdasarkan surat perintah penyitaan Nomor : PRINT-34/L.1/Fd.1/01/2023 Tanggal 25 Januari 2023. Penetapan Pengadilan Negeri Kuala Simpang NOMOR : 351/penpid.B-SITA/2023/PN Ksp Tanggal 27 Juni 2023, dalam perkara tindak pidana korupsi.
”Pihak Kejaksaan juga telah memasang plang pemberitahuan pada lahan tersebut terkait status penyitaan, “ungkapnya.
Menurut Viski, dengan status hukum disita, maka seluruh kegiatan atas objek tersebut tunduk dan berada di bawah penguasaan negara, yang dikelola oleh kejaksaan sebagai eksekutor penetapan pengadilan.
Viski menegaskan, kewajiban penyerahan pengelolaan kepada pihak ketiga yang sah. Dalam praktik hukum pidana korupsi, terutama untuk aset produktif (seperti lahan sawit), kejaksaan berkewajiban menyerahkan pengelolaan sementara kepada pihak ketiga yang dapat menjamin.
“Seperti, kelangsungan produksi, perlindungan hak-hak tenaga kerja, pengamanan aset agar nilai ekonominya tidak hilang, juga optimalisasi pengembalian kerugian negara,” paparnya.
Biasanya, imbuh Viski, PTPN sebagai BUMN atau badan yang ditunjuk oleh negara merupakan pihak yang paling sah untuk menerima pengelolaan berdasarkan prinsip tata kelola dan akuntabilitas negara.
Hal itu, tegasnya, ada diatur dalam UU 5 Tahun 1960, PP 40 Tahun 1996, PP 18 Tahun 2021, PP 19 Tahun 2021, Perpres 86 Tahun 2018, Permen Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala BPN 16 Tahun 2021 dan Nomor 18 Tahun 2021 serta sejumlah regulasi lainnya yang berlaku.
Selain itu, kata praktisi hukum itu lagi, merujuk pada ketentuan dalam Pasal 45 KUHAP: Barang bukti harus diamankan dan disimpan oleh negara. Kemudian, Peraturan Jaksa Agung RI No. PER-004/A/JA/03/2014 tentang Standar Operasional Penanganan Barang Bukti dan Barang Rampasan.
”Dalam Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001): Hasil kejahatan dapat dirampas untuk negara,” tegasnya.
Menurut Viski, dugaan bahwa PT DJ Alur Meranti, dan PT. DJ Alur Jambu yang merupakan pihak yang sedang berperkara masih mengelola lahan yang telah disita, melanggar asas penguasaan negara terhadap barang bukti.
Viski menyatakan, jika tidak ada penetapan resmi untuk menunjuk PT DJ Alur Meranti, dan PT DJ Alur Jambu sebagai pengelola sementara dan pihak Kejaksaan yang seharusnya menolak pihak perusahaan mengelola barang bukti yang merupakan aset negara karena merupakan tersangka terkait kasus dugaan Tipikor tersebut, maka aktivitas ini dapat dikategorikan sebagai: Obstruction of Justice atau menghalangi proses hukum), perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang merugikan keuangan negara, pelanggaran terhadap penetapan pengadilan.
”Jika itu terjadi, ini berpotensi sanksi hukum, sanksi pidana tambahan bagi tersangka/perusahaan. Jika terbukti bahwa pengelolaan dilakukan oleh pihak yang telah disita asetnya, maka Jaksa dapat menambahkan unsur perbuatan melawan hukum lanjutan atau tindak pidana baru, yakni: Penggelapan aset dalam proses hukum (Pasal 231 KUHP) Perintangan proses peradilan (Pasal 21 UU Tipikor), Tindak pidana pencucian uang (TPPU) jika ada indikasi bahwa hasil panen disamarkan atau digunakan untuk menutupi sumber keuangan,” tutur praktisi hukum itu.
Viski menyatakan, pertanggungjawaban Jaksa atau Aparat Penegak Hukum, jika kejaksaan diketahui lalai, membiarkan, atau dengan sengaja tidak menegakkan status sita, maka tindakan tersebut dapat diperiksa oleh: Jamwas Kejaksaan Agung RI, Ombudsman RI (maladministrasi), Komisi Kejaksaan, aparat yang terbukti lalai atau bekerja di luar prosedur bisa dikenai sanksi etik, administratif, atau bahkan pidana, ada diatur pada Pasal 421 KUHP terkait penyalahgunaan wewenang oleh pejabat atau a buse of power.
”Apa lagi jika kerugian negara karena hasil panen dijual dan dibayarkan langsung ke rekening PT tersebut, maka: Negara berpotensi mengalami kerugian, karena keuntungan dari lahan yang disita seharusnya masuk ke kas negara, “ujarnya.
Viski menjelaskan, hal tersebut membuka jalan untuk audit oleh BPK atau BPKP, serta penghitungan potensi kerugian negara sebagai bagian dari tindak pidana korupsi lanjutan dan kemungkinan bisa saja berpotensi bertambahnya tersangka baru terkait hal ini.
”Kesimpulannya jika benar, pengelolaan lahan sawit tersebut yang telah disita oleh kejaksaan dan ditetapkan oleh pengadilan, namun masih dikuasai dan dikelola oleh PT DJ Alur Meranti, dan PT DJ Alur Jambu, maka diduga melanggar ketentuan hukum pidana dan perdata yang berlaku. Kejaksaan sebagai pemegang amanah pengelolaan aset negara wajib segera menertibkan dan menyerahkan kepada pihak yang sah, serta menghentikan segala aktivitas yang dilakukan,” tegasnya.
”Berdasarkan UU no 18 tahun 2003 tentang advokat di Pasal 5 berbunyi advokat berstatus aparat penegak hukum. Oleh sebab itu. Saya akan mencoba untuk menyurati Kejari Aceh Tamiang, Kejati Aceh, dan Kejagung RI, terkait kedudukan tersebut. Soalnya saya melihat di dalam amar putusan disebutkan lahan sitaan tersebut dirampas oleh negara. Dan saya juga akan mencoba menyurati Pengadilan Tipikor Banda Aceh untuk mencoba ditafsirkan amar putusan tersebut,” tegas Viski Umar Hajir Nasution, SH, MH.
Sebelumnya seperti diberitakan Waspada.id, hasil panen buah kelapa sawit dari lahan barang bukti yang disita Kejaksaan Tinggi Aceh dijual dan diduga tidak disetor ke Kas Negara oleh pengelola kebun di lahan barang bukti tersebut.
Pihak Kejati Aceh, Kejari Aceh Tamiang dan PTPN Langsa juga ketika dikonfirmasi Waspada.id tidak mengetahui tentang hasil panen buah kelapa sawit dari lahan barang bukti yang telah disita itu dijual dan diduga hasil penjualan tersebut tidak disetor ke Kas Negara.
Bahkan, Komisi II DPRK Aceh Tamiang seperti diberitakan Waspada.id, diduga ikut terlibat kongkalikong dalam dugaan pemufakatan jahat terkait kasus ini karena tidak ada upaya untuk ikut mengawasi dan mengusut tuntas kasus ini karena tidak pernah memanggil pihak perusahaan untuk menanyakan hasil penjualan buah kelapa sawit dan kewenangan perusahaan menjual hasil panen sawit yang merupakan barang bukti sebagai aset negara.
“Nanti kami koordinasikan dan konsultasi dengan pimpinan DPRK Aceh Tamiang terkait kasus ini,” tegas Ketua Komisi II DPRK Aceh Tamiang, Sarhadi melalui telepon kepada Waspada.id, Minggu (10/8). (Id93)