Puncak Gunong (Gunung-red) Halimon berdiri gagah di kejauhan. Setiap pagi, awan putih menggulung perlahan menutupi lerengnya. Dari lembah, gunung itu tampak tenang seolah tidak pernah menurunkan air, batu, dan kayu yang pada akhir November lalu menyapu Gampong Blang Pandak, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie.
Di bawah bayang-bayang gunung itulah warga kini hidup dengan sisa-sisa bencana. Lumpur mengering di dinding rumah. Fondasi bangunan mencuat tanpa dinding. Jalan desa terputus di beberapa titik, menyisakan jalur sempit yang hanya bisa dilalui pejalan kaki.
Hampir enam minggu setelah banjir bandang, Blang Pandak belum pulih. Dari 1.625 jiwa penduduk, ratusan terdampak langsung. Lima kilometer jalan pemukiman rusak, empat kilometer saluran irigasi tertutup lumpur, dan sekitar 23 hektare sawah hanyut. Kebun kopi robusta dan arabika sumber penghidupan utama tinggal batang patah dan tanah longsor.

“Yang hilang bukan cuma rumah.Di sana ada rencana hidup kami. Sekarang tinggal cerita,” kata Hendra, 34, petani kopi Dusun Teungoh. Ia menunjuk ke arah lereng tempat kebunnya dulu tumbuh.
Di Dusun Wiew, Aminah, 29, masih tinggal di rumah yang dindingnya separuh roboh. Saat hujan turun, ia memeluk anaknya erat-erat. “Kalau awan sudah menutup gunung, kami susah tidur. Takut air datang lagi,” katanya lirih.
Ketakutan serupa dirasakan Mahmud 67, seorang lansia yang selamat dengan berlari ke bukit dini hari saat banjir datang. “Saya sudah tua. Kaki saya tak sekuat dulu. Kalau banjir lagi, saya tidak tahu harus lari ke mana,” ujarnya.

Namun di tengah trauma, kehidupan berjalan pelan. Setiap pagi, warga menyapu lumpur, menimbun jalan berlubang, dan membersihkan saluran air. Anak-anak kembali bermain di halaman yang belum sepenuhnya bersih.
Sekolah dibuka kembali, meski dindingnya masih penuh bekas lumpur. “Kalau tidak kami yang mulai, siapa lagi?” kata Nurhayati, 41, sambil menyapu sisa tanah di depan rumahnya. “Kami tidak bisa menunggu segalanya pulih dulu untuk hidup,” sambutnya lagi.
Keuchik Blang Pandak, Muhammad Yani, menyebut kebutuhan warga masih mendesak, beras, minyak goreng, gula, kopi, obat-obatan ringan, serta bahan bangunan sederhana.
“Bantuan itu bukan soal kenyang.Tapi soal memberi warga waktu dan tenaga untuk bangkit,” katanya dengan nada tegas.

Menjelang sore, awan kembali turun menutupi puncak Gunong Halimon. Bayangannya jatuh perlahan ke lembah Blang Pandak. Warga menghentikan pekerjaan, menatap langit sejenak, lalu kembali melanjutkan aktivitas mereka.
Gunung itu tetap berdiri gagah, tidak berubah. Di bawahnya, manusia menata ulang hidup dari puing dan lumpur dengan rasa takut yang belum sepenuhnya pergi, dan harapan yang terus dipelihara agar tidak ikut hanyut.
Muhammad Riza











