12 April 2020: Rapat pagu di ruang Kepala BPKA Bustami Hamzah, dihadiri Gubernur Nova Iriansyah, Sekda Taqwallah, dan Kepala Inspektorat Zulkifli.
Program refocusing mencakup publikasi bahaya Covid-19 serta pembangunan sarana air bersih dan wastafel.
9–10 September 2024: YARA ajukan praperadilan di PN Banda Aceh terkait sah/tidaknya penghentian penyidikan. Nama yang disebut dan diduga terlibat: Nova Iriansyah, Taqwallah, Bustami Hamzah, Teuku Nara Setia, Kausar Muhammad Yus, Hendra Budian, dan Zulfikar (Om Zul).
KURSI EKSEKUTIF itu berputar sepersekian detik sebelum terjungkal. Suara hentakan kaki memecah ruang rapat kecil di samping ruang kerja Sekretaris Daerah Aceh, suatu malam di pertengahan 2020. Belasan kepala yang semula tertunduk ke layar laporan sontak terangkat. Sekda waktu itu, Taqwallah, berdiri, menendang kursi di sebelahnya, dan melenggang keluar lewat connecting door. Di meja bundar yang mendadak hening, tangan Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Rachmat Fitri, masih berdenyut terkena benturan.
Adegan itu, menurut beberapa pejabat yang hadir, terjadi dalam rapat mendadak. Sekda Taqwallah memanggil Kepala Dinas Pendidikan dan seluruh kepala cabang dinas. Agenda baru diketahui ketika rapat dimulai: perkembangan program BEREH—“bersih, rapi, hijau, indah, estetis”—inisiatif Sekda untuk mengubah wajah sekolah. “Beliau menekankan kerapian sampai ke laci meja guru,” kata seorang pejabat pendidikan yang ada di ruangan itu. “Nada tegurnya galak.”
Laporan disodorkan kilat. Rachmat membacakan narasi capaian: persentase kebersihan, indikator kerapian, poin estetika. Di seberang meja, Sekda diam. “Beliau tidak suka narasi, maunya tabel dan grafik,” kata peserta lain. Begitu paparan ditutup, kursi bergerak, kaki menendang, dan pintu tertutup. Sunyi. “Pak, kami mengundurkan diri semua, ya,” ucap seorang bawahan memecah beku. “Jangan mundur,” jawab Rachmat pelan. “Biar saya hadapi kondisi ini sendiri.”

Kala itu, suasana serupa tak hanya terjadi Dinas Pendidikan. Dinas-dinas lain juga terimbas. Sekda membangun mekanisme pemantauan “merah–kuning–hijau” untuk menilai aneka kegiatan: donor darah, doa bersama, hingga vaksinasi Covid-19. “Kalau status kita ‘merah’, siap-siap ditelepon tengah malam,” ujar seorang kepala dinas. Pada beberapa kesempatan, nada ancaman meluncur di hadapan bawahan. “Saya punya banyak simpang. Bisa saja dana BOS distop,” kata Taqwallah, menurut kutipan seorang pejabat pendidikan. Kepercayaan dari atasan—Gubernur Nova Iriansyah—memperlebar lintasan kewenangan Sekda. Aceh kala itu tanpa wakil gubernur, dan peran Sekda disebut menjulur melampaui fungsi administratif. “Beliau seakan jadi ‘komandan harian’,” kata sumber di lingkungan Setda.
Dari panggung seperti itulah, “asbabunnuzul” proyek wastafel bertunas. Pandemi mengganas, pemerintah pusat memerintahkan refocusing anggaran. Di Aceh, Sekda mendorong pemasangan wastafel—tempat cuci tangan—di sekolah-sekolah sebagai simbol kampanye higienitas. Rachmat mengiyakan tanpa banyak tanya. “Saya sudah trauma,” kata orang dekatnya, mengutip curhat sang kepala dinas kala itu.
Mantan Sekda Aceh, Taqwallah, tak merespon konfirmasi yang dilayangkan KBA.ONE—media Jaringan Jurnalis Investigasi Sumatera (JJIS)—via WhatsApp, Sabtu 7 September 2025.
Pada 6 April 2020 adalah titik mula. Di hari itu, Kepala Dinas Pendidikan Aceh Rachmat Fitri, Muzafar, dan Sekretaris Dinas Teuku Nara Setia mengikuti konferensi video yang dipimpin Sekda Taqwallah. Perintahnya: siapkan bahan kegiatan yang belum dan tak mungkin dilaksanakan untuk refocusing. Keesokan hari, bahan diserahkan ke Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) yang diketuai Sekda.
Pada 12 April, rapat pembahasan pagu digelar di ruang Kepala BPKA Bustami Hamzah, dihadiri Gubernur Nova Iriansyah, Sekda Taqwallah, dan Kepala Inspektorat Zulkifli. Hasil rapat menyatakan refocusing Dinas Pendidikan telah sesuai. Setelah format rapat bubar, Rachmat diminta keluar. Nara—orang nomor dua di dinas—dipanggil masuk. Tak lama, Nara keluar dan menyampaikan kepada Rachmat bahwa program yang bisa dijalankan lewat refocusing antara lain publikasi bahaya Covid-19, serta pembangunan sarana air bersih dan wastafel. “Kalau arahan pimpinan maka kita harus melaksanakan,” sahut Rachmat, seperti dikutip dari catatan Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA).

Besoknya, 13 April, seluruh kepala bidang dikumpulkan. “Ada penambahan anggaran untuk penanganan Covid-19,” ujar Rachmat di ruang Oop Room, sambil meminta surat pernyataan tiap bidang bahwa kegiatan tersebut untuk Covid-19. Dua hari kemudian, surat-surat itu masuk, termasuk dari bidang sarpras—menyebut program tempat cuci tangan di SMA, SMK, dan SLB akan dilaksanakan melalui APBA 2020.
Pada 22 April, undangan WhatsApp dari Sekretariat P2K APBA mendarat di gawai Rachmat: hadir mengambil pagu refocusing. Sehari sesudahnya rapat final di BPKA. Aplikasi SIPD diisi. Pada 15 Mei, Sekda menerbitkan surat pagu final Dinas Pendidikan; di dalamnya ada penambahan untuk pembangunan sarana air bersih dan pemasangan wastafel di SMA, SMK, dan SLB dengan nilai Rp41,214 miliar. Dokumen pelaksanaan pergeseran anggaran ditetapkan 15 Juni 2020, ditandatangani Rachmat, Bustami, dan disahkan Sekda.
Di antara dua tanggal itu, menurut YARA, “Indikasi kecurangan sudah muncul.” Nara dipanggil khusus—tanpa Rachmat—menghadap Gubernur Nova dan TAPA, dan menjelaskan bahwa paket wastafel “milik” Kausar Muhammad Yus (mantan anggota DPRA Fraksi Partai Aceh) dan Hendra Budian (Anggota DPRA Partai Golkar). Tak lama, muncul sosok Zulfikar alias Om Zul ke Dinas Pendidikan, memperkenalkan diri “orang suruhan” Nova. Rachmat disebut menegaskan, bila demikian, laksanakan sesuai aturan. Proyek kemudian ditetapkan di DPPA dan—berdasarkan arahan—dipecah menjadi 405 paket pengadaan langsung, dengan pagu per paket antara Rp90–110 juta. “Paket dipecah-pecah berdasarkan titipan nama,” tulis ringkasan investigasi YARA. (Keterangan YARA dan konfirmasi nama-nama di atas yang tak direspon sudan dipublikasikan KBA.ONE pada 10 September 2024).
Pada periode yang sama, dua kali Rachmat disebut hendak mengundurkan diri. Kali pertama, Sekda memintanya membuat surat. Rachmat urung—alasan etika. Kali kedua, ia minta segera diberhentikan. Di Desember 2020, permintaan itu akhirnya dikabulkan. “Dia bukan tipe pejabat yang biasa berhadapan dengan tekanan,” kata seorang kolega. “Kelemahannya mudah dimanfaatkan. Dia mudah ditakut-takuti.” Kelak, Rachmat digantikan Alhudri.
Di tingkat pelaksana, roda bergerak cepat. Dokumen disiapkan pejabat pengadaan, pengesahan menyertakan TAPA, perintah mengalir melalui Nara. Di sekolah-sekolah, wastafel berdatangan. Namun, tanda-tanda bahwa sesuatu tak beres mulai nampak: spesifikasi yang timpang, pengerjaan yang berpacu, dan penerima paket yang berjejaring. “Metodenya pengadaan langsung, tapi list penyedia seperti sudah tersedia,” kata seorang pejabat teknis.

YARA lalu mengambil langkah hukum. Pada 9–10 September 2024, dua paralegal mereka—Mitra Ate Fulawan dan Sabrina—mendaftarkan praperadilan ke PN Banda Aceh. Objeknya: sah atau tidaknya penghentian penyidikan terhadap sejumlah nama yang, menurut investigasi mereka, “diduga ikut terlibat”. YARA menyebut nama Nova Iriansyah, Taqwallah, Bustami Hamzah, Teuku Nara Setia, Kausar Muhammad Yus, Hendra Budian, dan Zulfikar alias Om Zul. “Jangan ada tebang pilih,” kata Boying Hasibuan, Ketua Tim Advokasi Praperadilan YARA, dalam keterangan pers kala itu. (KBA.ONE melaporkan pendaftaran praperadilan dan daftar nama yang dimohonkan untuk disidik. Para pihak yang disebut, menurut KBA.ONE, tidak menjawab permintaan konfirmasi yang dilayangkan).
Dua pekan berselang, YARA mencabut gugatan praperadilan untuk diperbaiki, setelah hakim menyarankan renvoi diajukan ulang secara daring. “Kita cabut karena ada yang harus direvisi,” kata Boying kepada media pada 23 September 2024.
Pencabutan gugatan ini mengundang kecurigaan bahwa YARA sudah “masuk angin” dan diduga kuat melakukan lobi-lobi khusus kepada bekas Gubernur Nova Iriansyah, Bustami Hamzah dan kelompoknya.
Tapi, Koordinator YARA, Safaruddin, membantah tudingan itu. “Kami tidak pernah berhubungan dengan Nova Iriansyah dan Bustami,” ujar Safruddin menjawab pertanyaan KBA.ONE, Minggu 7 September 2025, lewat pesan WhatsApp.
Safar berkilah YARA tidak mengembalikan berkas praperadilan karena akan ada proses lanjutan yang melibatkan tersangka baru. “YARA saat ini hanya mengawal saja,”katanya.
Sementara itu, penegakan hukum terhadap pelaksana paket terus bergulir. Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh pada Agustus 2023 mengumumkan hasil audit BPKP Perwakilan Aceh: kerugian negara Rp7,2 miliar dari pagu Rp41,214 miliar APBA refocusing 2020—angka yang berulang dikutip penyidik sejak awal.
Di tingkat peradilan, perkara terhadap mantan Kepala Dinas Pendidikan Rachmat Fitri berakhir pada putusan Mahkamah Agung. Ia dieksekusi ke Lapas Kelas IIA Banda Aceh pada 8 Agustus 2025 untuk menjalani hukuman 4 tahun penjara—hasil kasasi yang memperberat vonis PN Tipikor 1 tahun. Informasi ini disampaikan sejumlah kanal resmi kejaksaan daerah dan dilaporkan media lokal; putusan banding dan kasasi menaikkan hukuman menjadi 4 tahun.
Terbaru, 3 September 2025, polisi menetapkan adik kandung Kausar Muhammad Yus, yaitu Syifak Muhammad Yus—kontraktor pengadaan wastafel yang mengelola 159 paket, diduga milik abangnya—sebagai tersangka. “Benar (sudah tersangka),” kata Dirkrimsus Polda Aceh Kombes Zulhir Destrian, kepada wartawan di Banda Aceh. Penyidik telah memanggil Syifak pada 1 September, namun yang bersangkutan meminta penundaan. Sampai berita itu diturunkan, ia belum ditahan. Polda menyebut penetapan tersangka baru akan melihat hasil pemeriksaan lanjutan.
Mengikuti benang merahnya, proyek wastafel lahir dari perintah refocusing—dari struktur komando yang mengencang di tengah pandemi. Program BEREH yang menuntut kerapian laci dan estetika ruang kelas menjadi latar psikologis bergulirnya proyek wastafel.
Di Dinas Pendidikan, Rachmat menjadi figur “tanoh leumiek”—lahan yang paling gampang dibentuk. Kariernya relatif mulus: camat, wakil bupati, eselon II. Ia bukan datang dari tradisi pendidikan; para kolega menyebutnya “patuh”. “Dia mudah ditakut-takuti, juga gampang terjebak karena ketidaktahuan soal hal teknis,” kata seorang pejabat yang pernah satu atap. Sejumlah berkas memperlihatkan, peran eksekutor justru melekat pada pejabat di bawahnya, Nara—orang kepercayaan Sekda. Dalam pertemuan-pertemuan kunci, Nara disebut lebih sering dipanggil ke ruang inti ketimbang kepala dinasnya. Tapi, beberapa kali dikonfirmasi via telepon dan WhatsApp, Nara tak pernah merespon.
Ketika perkara naik ke pengadilan, narasi terasa beringsut. “Ceritanya terbalik,” kata Tanzil Munawar, pengacara Rachmat, dalam satu kesempatan. Menurut dia, peran aktor intelektual di balik proyek—nama-nama tersebut di atas, seperti Nova Iriansyah, Bustami Hamzah, Kausar Muhammad Yus, Hendra Budian, dan Zulfikar alias Om Zul—tidak diulik jaksa.

Dari sisi kebijakan, refocusing 2020 adalah respons darurat. Pemerintah pusat memerintahkan realokasi massif; provinsi bergerak mengatur ulang program. Di Aceh, Sekda memosisikan wastafel sebagai kampanye higienitas—sejalan protokol kesehatan kala itu. Pertanyaannya, ketika gagasan berjalan, siapa yang memegang kendali di detail-daya beli: spesifikasi, harga, pemerataan, dan kualitas? Pemecahan 405 paket pengadaan langsung—kalau pun dibenarkan regulasi darurat—mengundang risiko fragmentasi, mengaburkan akuntabilitas, dan membuka ruang titipan. “Paket dipecah berdasarkan nama,” begitu inferensi YARA dari dokumen yang mereka kumpulkan.
Di sekolah, praktiknya membekas pada barang kasat mata: wastafel yang berjejer di teras-teras kelas. Ada yang jauh dari standar, ada yang karatan, ada yang mangkrak. Angka kerugian ditaksir Rp7,2 miliar—hanya secuil dari pagu. Padahal, jika kerugian material adalah “ujung” yang terukur, kerusakan lebih besar ada pada tatakelola: bagaimana keputusan diambil, bagaimana pengawasan berfungsi, bagaimana “perintah” disalurkan, dan sejauh apa mekanisme kontrol internal berani berkata tidak.
Kisah tendangan kursi di meja bundar memberi gambaran soal relasi kuasa dalam birokrasi. Teknik “shock and awe” mungkin efektif untuk menegakkan disiplin; namun ia juga bisa memproduksi kepatuhan semu, membuat orang berhenti kritis.
Di ujung 2025, kasus wastafel menyeruak lagi. Mahkamah Agung telah mengunci vonis 4 tahun bagi Rachmat Fitri; dan polisi menambah satu tersangka lagi, Syifak Muhammad Yus Ini membuka peluang pengembangan baru untuk kembali ke aktor di belakang wastafel yang hingga kini masih melanggang di luar. Siapa yang memulai, siapa yang memerintah, siapa yang mengendalikan arus paket.
“Kalau arahan pimpinan maka kita harus melaksanakan,” kata Rachmat pada April 2020. Lima tahun kemudian, kalimat itu terdengar seperti kunci untuk membuka pertanyaan lain: sampai di mana batas “arahan” dalam negara hukum yang menuntut pertanggungjawaban individual? Di ruang rapat yang pernah hening oleh tendangan kursi itu, jawaban belum juga datang. Barangkali, pada akhirnya, yang kita butuhkan bukan cuma wastafel mengkilap, melainkan cermin: agar semua yang berdiri di hadapannya—Nova Iriansyah, Taqwallah, Bustami Hamzah, Teuku Nara Setia, Kausar Muhammad Yus, Hendra Budian, dan Zulfikar alias Om Zul—tak lagi bisa mengelak dari bayangannya sendiri. | JARINGAN JURNALIS INVESTIGASI SUMATERA (JJIS).
Sumber KBA.ONE