PIDIE (Waspada.id) : Air masih menutup sebagian badan jalan ketika Kapolres Pidie AKBP Jaka Mulyana, SIK, MIK turun dari mobil dinasnya di Gampong Tibang, Sigli, Jumat (28/11). Di hadapannya, hamparan air kecokelatan membentuk genangan luas, menyisakan pulau-pulau kecil tempat warga bertahan sambil menunggu bantuan.
Bagi Jaka, kedatangan ini bukan sekadar rutinitas ketika bencana datang. Ia ingin melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana masyarakat menghadapi banjir yang datang tanpa kompromi. “Kalau hanya menerima laporan, kita tidak merasakan urgensinya,” katanya pelan, sembari meniti papan kayu menuju dapur umum.
Di dapur umum itu, ia menyerahkan bantuan sembako. Perempuan-perempuan yang sejak pagi mengaduk panci besar terhenti sejenak, menyapa Kapolres sambil mengelap keringat.
“Kami hanya ingin memastikan ibu-ibu tidak kehabisan bahan masakan,” ujar Jaka, yang kemudian berbincang singkat tentang berapa banyak warga yang masih bergantung pada dapur tersebut.
Perjalanan Jaka berlanjut ke Gampong Jojo, Kecamatan Mutiara Barat. Meunasah yang biasanya sunyi, kini dipenuhi kasur lipat, tikar, dan botol air mineral bertebaran di lantai. Anak-anak berbaris rapi ketika rombongan polisi tiba mungkin berharap biskuit atau makanan instan seperti yang biasa mereka terima saat bencana.

Di tengah ruang pengungsian itu, Kapolres Pidie itu berdiri membagikan sembako satu per satu. Ia tidak terburu-buru. Sesekali ia menepuk pundak seorang lelaki tua yang wajahnya tampak lelah, atau menunduk mendengar keluhan ibu muda tentang anaknya yang sulit tidur sejak banjir datang.
“Yang kami lakukan ini kecil, tapi saya ingin masyarakat tahu bahwa mereka tidak sendirian,” ujarnya.
Di Gampong Baro Yaman, Kecamatan Mutiara Timur, sore mulai turun. Bau lumpur dan sisa kayu hanyut tercium saat warga menyambut Kapolres Pidie dan rombongan yang datang dari Sigli, ibukota Kabupaten Pidie.
Lagi-lagi, logistik diturunkan, beras, minyak goreng, mie instan, telur, roti, sarden, air mineral. Namun lebih dari paket bantuan itu, warga terlihat menunggu sesuatu yang lain, kepastian bahwa keadaan akan membaik.
Jaka pun duduk bersama mereka, mendengarkan, mencatat, dan menenangkan. “Kami akan terus berkoordinasi, jangan ragu menyampaikan kebutuhan,” katanya.
Keuchik Mahdi, yang matanya berkaca-kaca sepanjang dialog, hanya bisa mengangguk. “Bantuan ini lebih dari cukup untuk hari ini, Pak. Terima kasih sudah datang langsung.” katanya lirih.
Bagi Jaka Mulyana, bencana seperti ini selalu menyimpan pelajaran. Ia mengaku tidak pernah terbiasa melihat warga yang kehilangan rumah atau tempat tinggal untuk sementara, atau anak-anak yang ketakutan setiap kali hujan turun deras.
“Tapi justru di situ letak tugas kami,” ujar Kapolres Pidie. “Bencana bukan hanya soal air dan lumpur. Ini soal memastikan warga tetap merasa kuat.” imbuhnya.
Dan sore itu, ketika ia meninggalkan Baro Yaman, suara warga yang melambai sambil berucap terima kasih seolah menjadi pengingat bahwa kehadiran aparat bahkan hanya sekadar menyapa dan mendengar, kadang cukup untuk membuat warga merasa tidak ditinggalkan. (Id69)











