SUBULUSSALAM (Waspada): Menyoal Rancangan Qanun (Raqan) Penyelenggaraan Penyiaran (PP) di Aceh, secara umum Raqan PP dinilai hanya memuat hal-hal yang terkait dengan tuntutan pemerintah kepada media penyiaran. Kontribusi pemerintah kepada media penyiaran nyaris tidak dijelaskan secara rinci, sehingga dinilai tidak sinkron.
Direktur Radio Muna FM Kota Subulussalam, Aceh Yasin Padang (foto) mengatakan itu melalui rilisnya menyoal Raqan PP di Aceh, Kamis (9/11).
Dikatakan, muatan Raqan PP tantangan bagi media penyiaran di Aceh, seperti pada pasal 16 ayat (4). Alasannya, penelitian tahun 2022 diketahui jika 80% Generasi Z di Aceh tidak menggunakan Bahasa Aceh sebagai komunikasi sehari-hari.
Membumikan kembali Bahasa Aceh di kalangan masyarakat Aceh dinilai tidak tepat jika disandarkan kepada media penyiaran saja. Disebutkan, pemerintah penanggungjawab dan aktor utama dalam pembangunan di Aceh.
Berbagai alasan tersebut dinilai menjadi indikator jika sinkronisasi antarmedia penyiaran dengan pemerintah nyaris tidak ada, sesuai Asas Raqan PP, pasal 2 ayat (1).
Lalu dari sembilan Ruang Lingkup Pengaturan PP (pasal 2 ayat 3) ada poin krusial yang tidak dibahas lebih jelas dan mendalam, khusus poin d (media baru) terkesan dipaksakan masuk Raqan. Ada juga pasal rancu dan terpotong, seperti pasal 4 poin e, pasal 15 ayat (3).
Berdasarkan alasan ini, pengesahan Raqan menjadi qanun dinilai tidak perlu dilakukan terburu-buru atau dapat ditunda. Selain itu, diskusi lebih lanjut mengenai pasal-pasal yang belum jelas perlu dilakukan.
Bersama 33 lembaga Penyiaran Radio di Aceh, Yasin sampaikan delapan pernyataan sikap terkait Raqan PP di Aceh, yakni tidak dilakukan kajian komprehensif terhadap Daftar Inventaris Masalah (DIM), tidak dilakukan kajian lengkap terhadap tanggapan masyarakat atas konten siaran radio, banyak hal sudah diatur dalam UU Penyiaran SPS/P3 dan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (PKPI), termasuk UU lain yang terkait, seperti Periklanan, Telekomunikasi dan UU Pokok Pers.
Lalu, sejumlah kewajiban seperti pasal 16-18 tidak disertai hak berupa sumber anggaran untuk biaya produksi atas kewajiban itu. Pada pasal 26 anggaran KPIA dibebankan ke APBA, padahal sebagi lembaga negara mestinya memakai APBN.
Produksi program, pasal 16 sudah dilakukan di hampir semua lembaga penyiaran, khususnya radio. Banyak aspek dalam ekosistem penyiaran belum dicantumkan dalam Raqan Aceh dan tidak mendukung iklim investasi bidang penyiaran dan peningkatan SDM profesi penyiar. (b17)