Aceh

Dinkes Aceh Minta Warga Waspadai Campak Dan TBC Pasca Bencana

Dinkes Aceh Minta Warga Waspadai Campak Dan TBC Pasca Bencana
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Aceh Ferdiyus (kanan),saat memberikan keterangan kepada media pada Rabu (24/12). (Waspada.id/Ist)
Kecil Besar
14px

BANDA ACEH (Waspada.id): Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh memfokuskan penanganan dampak kesehatan pascabencana hidrometeorologi pada sembilan kabupaten/kota prioritas, seiring meningkatnya risiko penyakit menular di lokasi pengungsian yang padat dan terbatasnya sarana sanitasi.

Sebagaimana dilansir mediacenter Aceh, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Aceh Ferdiyus mengatakan, dari 18 kabupaten/kota terdampak bencana, pihaknya telah mengerahkan sekitar 752 tenaga kesehatan yang tergabung dalam Tim Medis Tanggap, diperkuat lebih dari 2.000 relawan kesehatan di lapangan.

“Secara Umum pelayanan berjalan, tetapi kendala utama di lapangan adalah air bersih dan akses transportasi ke wilayah terpencil, terutama pelayanan jemput bola dari rumah ke rumah,” ujar Ferdiyus, di Kantor Gubernur Pemprov Aceh, Rabu (24/12).

Menurut Ferdiyus, jarak antarpermukiman di wilayah terdampak bisa mencapai 5 hingga 10 kilometer, sementara sebagian besar tim tidak memiliki kendaraan roda dua untuk menjangkau lokasi yang tidak dapat dilalui ambulans atau mobil layanan kesehatan.

Lanjutnya, kondisi pengungsian yang padat juga meningkatkan risiko penularan campak dan tuberkulosis (TBC), terutama pada anak-anak. Hingga saat ini, tercatat 17 kasus campak dan ratusan kasus TBC di lokasi pengungsian yang tersebar di enam kabupaten/ kota, antara lain Aceh Tamiang, Pidie Jaya, Aceh Timur, dan Langsa.

“Campak cepat menyebar, apalagi anak-anak sulit dibatasi aktivitasnya di dalam tenda. Ini yang menjadi perhatian serius kami,” jelasnya.

la juga mengungkapkan, untuk memastikan layanan kesehatan tetap berjalan, Dinas Kesehatan Aceh telah mengaktifkan 117 posko kesehatan, di luar layanan di puskesmas dan fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Ketersediaan obat-obatan hingga kini masih relatif aman berkat dukungan Kementerian Kesehatan melalui Pusat Krisis Kesehatan, dengan pengiriman hampir setiap hari.

Adapun obat yang paling dibutuhkan saat ini meliputi obat TBC untuk mencegah putus obat, obat penyakit kulit dan gatal-gatal, serta alat kesehatan kit (alkes kit) yang masih terbatas jumlahnya di sejumlah posko.

“Alkes kit sudah ada bantuan, tetapi belum mencukupi semua posko. Ini penting agar tim bisa bergerak lebih mobile,” kata Ferdiyus.

Dari sisi sumber daya manusia, Ferdiyus memastikan setiap tim kesehatan minimal diperkuat dua dokter, bahkan di beberapa lokasi terdapat dokter spesialis yang turut membantu pelayanan medis sekaligus pemulihan fasilitas kesehatan terdampak.

Namun demikian, keterbatasan alat kesehatan portabel dan sarana komunikasi masih menjadi tantangan. Saat ini, Dinas Kesehatan Aceh baru menerima delapan unit starlink yang didistribusikan ke wilayah seperti Bener Meriah, Aceh Tamiang, Langsa, dan Aceh Timur untuk mendukung konektivitas layanan kesehatan.

Penanganan kelompok rentan seperti balita, ibu hamil, dan lansia menjadi prioritas melalui pemberian Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dan pemantauan kesehatan rutin di setiap lokasi pengungsian. Meski demikian, keterbatasan air bersih dan pakaian layak turut memengaruhi penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di lapangan.

“Masalah gatal-gatal, infeksi kulit, hingga risiko penyakit menular sangat erat kaitannya dengan kebersihan. Ini yang terus kami edukasikan di tengah keterbatasan,” ungkap Ferdiyus.

Namun demikian, keterbatasan alat kesehatan portabel dan sarana komunikasi masih menjadi tantangan. Saat ini, Dinas Kesehatan Aceh baru menerima delapan unit starlink yang didistribusikan ke wilayah seperti Bener Meriah, Aceh Tamiang, Langsa, dan Aceh Timur untuk mendukung konektivitas layanan kesehatan.

Penanganan kelompok rentan seperti balita, ibu hamil, dan lansia menjadi prioritas melalui pemberian Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dan pemantauan kesehatan rutin di setiap lokasi pengungsian. Meski demikian, keterbatasan air bersih dan pakaian layak turut memengaruhi penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di lapangan.

“Masalah gatal-gatal, infeksi kulit, hingga risiko penyakit menular sangat erat kaitannya dengan kebersihan. Ini yang terus kami edukasikan di tengah keterbatasan,” ungkap Ferdiyus.

Untuk menekan risiko kesehatan jangka menengah, Dinas Kesehatan Aceh mendorong percepatan pembangunan hunian sementara (huntara) agar pengungsi tidak terlalu lama tinggal di tenda padat.

“Dengan huntara, penerapan PHBS lebih memungkinkan dan promosi kesehatan bisa dilakukan lebih efektif dari barak ke barak,” pungkasnya. (id65)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE