ACEH TAMIANG (Waspada.id): Di lembabnya pesisir Kuala Genting, Kecamatan Bendahara, Kabupaten Aceh Tamiang suara angin yang dulu membawa aroma asin laut kini bercampur getir bau tanah dan solar.
Di atas lahan yang dulu rimbun oleh hutan bakau, kini batang-batang sawit muda menjulang kaku, jejak rantai excavator masih terlihat jelas di tanah berlumpur bekas dari perambahan yang diduga berlangsung sejak awal 2023.
Direktur Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtar), Sayed Zainal dalam keterangannya pada Kamis (13/11) menyampaikan, bahwa pihaknya sangat prihatin dengan peristiwa itu dan menilai proses hukum yang berjalan lamban dan tumpul.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, ini kejahatan lingkungan,” tegas Sayed Zainal dan mengatakan, dalam ekspos kasus yang digelar Polres Aceh Tamiang tanggal 28 Oktober 2025, penyidik hanya menetapkan satu tersangka berinisial I, pemilik alat berat yang ditemukan rusak di lokasi perambahan pada 19 Agustus 2025.
Namun, ironinya, hasil penyelidikan menyebutkan area yang dirambah hanya seluas 344,7 hektare dan tidak menyebut bahwa sebagian lahan itu masuk dalam kawasan Hutan Lindung (HL) dan Hutan Produksi (HP).
Padahal, menurut temuan lapangan LembAHtari, pada hari yang sama pihak mereka sudah menyerahkan berkas Kelompok Tani (Poktan) BB kepada penyidik, yang diduga berisi nama-nama pelaku utama pembabatan hutan bakau menjadi kebun kelapa sawit di Alur Cina, Dusun Ujung Baru, Kuala Genting.
“Publik berhak tahu, apakah nama-nama itu sudah diteruskan dalam bentuk SPDP ke Kejaksaan Negeri Kuala Simpang atau belum,” desak Sayed Zainal seraya menyampaikan, perhatian terhadap kawasan yang dirusak itu semakin menguat setelah Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) RI memasang plang larangan di dua titik lokasi pada 11 September 2025.
Tim yang dipimpin Dankorwil PKH Garuda RI wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara, bersama KPH Wilayah VII, bahkan menumbangkan sekitar 100 batang sawit muda sebagai simbol penegasan bahwa lahan tersebut merupakan kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang dirambah secara ilegal.
Namun, bagi LembAHtari, tindakan simbolik itu belum cukup. Mereka menilai ada kejanggalan besar dalam lamanya proses hukum di Kepolisian. “Mustahil perambahan seluas ini tak diketahui sejak awal 2023, baik aparat maupun pihak KPH Wilayah VII pasti melihat, tapi diam,” kata Sayed Zainal tajam.
Sayed Zainal mengungkapkan kekecewaan terhadap kinerja aparat di daerah mendorong LembAHtari melangkah lebih jauh. Pada 25 September 2025, bersama jaringan Sumatera Environmental Initiative (SEI), Aceh Wetland Forum (AWF), dan difasilitasi Indonesian Ocean Justice Initiative (IOJI), lembaga ini melaporkan kasus tersebut ke Bareskrim Mabes Polri serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) RI.
Langkah itu ditempuh karena mereka melihat adanya dugaan kelalaian dan lemahnya pengawasan di tingkat daerah. “Kami ingin kasus ini diambil alih oleh Polda Aceh, bahkan bila perlu penyelidikan ulang di bawah koordinasi Mabes Polri dan Satgas Garuda RI di Kejaksaan Agung,” tambah Sayed Zainal.
Kini di tepian alur Kuala Genting, warga menyebut suara mesin beko yang dulu meraung tiap malam telah lama berhenti. Tapi yang tertinggal adalah keterkejutan ekologi atau daerah resapan air hilang, abrasi semakin cepat, dan kepiting bakau makin sulit didapat. (id76)












