SINGKIL (Waspada): Sebanyak tujuh perusahaan minyak Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di Kabupaten Aceh Singkil, diduga masih tidak taat aturan dan mengabaikan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor.22 tahun 2021.
Sebab, meski telah puluhan tahun beroperasi di Kabupaten Aceh Singkil, namun PKS tersebut terkesan mengabaikan ancaman kesehatan masyarakat yang berada di sekitar lingkungan perusahaan.
Lantaran, tujuh dari delapan perusahaan yang terus menjalankan usahanya di Aceh Singkil itu, sampai ini tidak memiliki alat Sparing dan dinilai tidak transparan terhadap pengelolaan hasil limbahnya.
Berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) RI No.80/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri LHK No.P.93/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2018 tentang Pemantauan Kualitas Air Limbah Secara Terus-Menerus dan Dalam Jaringan Bagi Usaha dan Atau Kegiatan.
Sesuai Pasal 1 ayat 3, Alat Sparing adalah alat pemantau air limbah terus menerus dan dalam Jaringan. Adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur kadar suatu parameter kualitas air limbah dan debit, air limbah melalui pengukuran dan pelaporan debit, air limbah secara otomatik, terus menerus dan dalam jaringan.
Dalam Pasal 2 disebutkan, Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dalam melakukan pemantauan kualitas air limbah dan pelaporan pelaksanaan pemantauan kualitas air limbah wajib memasang dan mengoperasikan sparing.
Kabid Penaatan dan Peningkatan Kapasitas Dinas Lingkungan Hidup Aceh Singkil, T Zulfikar Ali dikonfirmasi Waspada.id, Selasa (28/2) mengungkapkan, dari 8 perusahaan PKS yang beroperasi, hanya PT Socfindo yang sudah melapor dan memiliki alat sparing dan akan segera memasangnya.
Sementara untuk sanksi terhadap perusahaan yang belum memasang alat sparing ini katanya, pihaknya masih akan berkoordinasi kembali dengan Kementerian LHK.
“kita akan berkoordinasi lagi dengan Kementerian LHK dan selanjutnya menunggu surat dari LHK sanksinya apa jika tidak pasang Sparing,” ucap Zulfikar.
Diakuinya, alat sparing wajib dipasang namun untuk sanksi terhadap perusahaan belum ada instruksi yang mengarah kesana, karena penerapan aturan ini ada masa berlakunya setelah aturan ini dikeluarkan.
“Saat ini masih tahap sosialisasi dan sudah disampaikan keseluruh perusahaan terkait aturan ini, akan ada aturan turrunannya untuk sanksi tersebut,” terang Zul.
Disebutkannya harga alat sparing lumayan mahal karena mencapai ratusan juta rupiah. Sehingga belum semua perusahaan memilikinya.
Sementara 7 PKS lainnya yang belum memiliki alat sparing yakni, PT DM, PT PLB (Astra Agro Lestari I dan II), PT Naf, PT RPP, PT EL dan PT SSM.
Namun, dari 7 perusahaan tersebut hanya 3 PKS yang membuang limbah perusahaannya ke aliran sungai tersebut yakni, PT Soc, PT EL dan PT SSM.
“Ketiga perusahaan tersebut, seyogyanya memiliki alat sparing sesuai dengan PP 22 tahun 2021, tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,” terangnya.
Lebih lanjut kata Zulfikar, prinsip kerja alat sparing ini dipasang di titik penaatan yang nantinya akan terkoneksi ke KLHK melalui satelit.
Dengan begitu parameter kualitas air limbah dan debit air limbah, bisa dilaporkan secara otomatis dan terus menerus.
“Sesuai fungsinya alat sparing ini nantinya bisa mengukur kadar suatu parameter kualitas air limbah dan debit air limbah melalui pengukuran pelaporan debit air limbah secara otomatis. Alat ini terhubung ke satelit jadi bisa dipantau setiap waktu,” terang Zulfikar.
Terkait fasilitas Sparing di salah satu perusahaan, Humas pabrik minyak kelapa sawit (PMKS) PT Delima Makmur Rahmatullah yang dikonfirmasi Waspada.id mengungkapkan, pengelolaan limbah cair di unit PMKS PT DM terpantau secara mandiri, otomatis dan langsung terbaca tiap parameternya.
Dan di PT DM katanya, tidak perlu dilakukan pemasangan alat sparing. Lantaran sudah menggunakan Land Application.
Berbeda dengan alat sparing yang dipasang untuk limbah olahan yang dibuang ke permukaan air.
Land Application ini adalah limbah yang dikelola dan dapat dimanfaatkan dilokasi lahan kebun sendiri, dan berfungsi sebagai substitusi pupuk tanaman.
Sehingga manfaatnya, limbah cair tersebut dikelola dan hasilnya memiliki nilai ekonomis, terang Rahmatullah.
Begitupun katanya, perusahaan selalu memastikan pengelolaan limbah tersebut tetap mengikuti parameter yang ditentukan oleh aturan yang baku, pungkasnya.
Terpisah General Manager PT Nafasindo Iskandar yang dikonfirmasi via WhatsApp belum menjawab soal alat sparing tersebut.
Sementara itu, PT Perkebunan Lembah Bhakti (PLB) juga memanfaatkan Land Application dalam mengelola limbah cair perusahaannya.
“Kami PLB tidak menggunakan alat sparing tapi Land Application atau aplikasi lahan. Yakni pemanfaatan limbah cair dari industri kelapa sawit untuk digunakan sebagai bahan penyubur atau pemupukan tanaman kelapa sawit,” terang Teguh Arif Humas PT PLB kepada Waspada.id.(b25)