SIGLI (Waspada): Tiga peserta yang tidak lolos menjadi Komisioner KIP Pidie tidak bisa menggugat DPRK dan Komisi I DPRK Pidie secara perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Sigli.
“Gugatan perdata perbuatan melawan hukum yang dilakukan saudara Sriwahyuza, Said Mahfud Zikri, dan Muhammad Ali di Pengadilan Negeri Sigli terhadap dua pihak, yaitu DPRK Pidie sebagai Tergugat I dan Komisi I DPRK Pidie Pansus sebagai tergugat II. Dalam hal ini DPRK Pidie tidak bisa digugat secara perdata, karena DPRK Pidie bukan subyek hukum perdata maupun pidana. DPRK Pidie adalah subyek hukum tata negara, sehingga secara institusi tidak bisa digugat,” demikian Muharramsyah SH, MH, (foto) Praktisi Hukum dan Pemerhati Kebijakan Publik di Pidie, Senin (18/9).
Menurut dia, yang bisa dilakukan oleh Sriwahyuza cs adalah mengugat pribadi-pribadi yang dianggap merugikannya. Misalnya, dalam kapasitasnya sebagai anggota Komisi I secara pribadi orang itu melakukan hal-hal yang merugikan mereka secara perdata.
Kata Muharramsyah, Sriwahyuza cs dapat menggugat Mahfudin Ismail, T. Saifullah, TS, M. Saleh atau Ibrahim secara pribadi. Pun begitu Muharramsyah meragukan bila keenam anggota DPRK Pidie itu melakukan sesuatu dalam kapasitas pribadi yang merugikan Sriwahyuza cs.
Menurut Muharramsyah, DPRK Pidie maupun Komisi I, secara institusi dianggap bagian dari DPRK Pidie, menjalankan program dan fungsi dalam rangka menjalankan tugas konstitusionalnya sebagai lembaga perwakilan rakyat. Parlemen itu justru mewakili rakyat. Tidak ada yang lebih sah mewakili rakyat kecuali parlemen. “Kalau rakyat tidak puas terhadap keputusan-keputusan DPRK Pidie, maka yang bisa dilakukan adalah tidak memilih mereka lagi sebagai wakilnya di Pemilu yang akan datang. Jika sistem Pemilunya proporsional, maka partainya yang kemungkinan tidak akan dipilih lagi oleh masyarakat karena sudah tidak percaya lagi,” katanya.
Lanjut dia, demikian juga masyarakat bila ingin mengugat, yang dapat dilakukan adalah mengugat secara politik. Misalnya, demonstrasi atau menyatakan pendapat, dengan cara menyatakan pendapat, bisa memberikan tekanan politik pada DPRK Pidie. Kalau mengugat ke pengadilan, itu salah alamat.
Lain halnya jika gugatan dilakukan terhadap individu-individu anggota DPRK Pidie. Menurut Muharramsyah, seorang anggota parlemen bisa melakukan tindak pidana atau pelanggaran hukum perdata. Kalau seorang anggota DPRK Pidie melakukan pelanggaran pidana, bisa dituntut oleh Kejaksaan setelah dimintakan izin pada Gubernur. Kalau seorang anggota DPRK Pidie melakukan pelanggaran di bidang perdata, maka warga negara yang lain, subyek hukum lain yang bukan anggota DPRK Pidie bisa saja mengugat perdata anggota tersebut dalam hubungan antara individu dengan individu.
Ada juga kontrol secara hukum dari sisi etika. Kalau di parlemen negara-negara modern seperti di Amerika, ada ethic commission (komisi etika-red). Jika ada seorang anggota parlemen yang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan etika atau hukum, komisi tersebut, kata Muharramsyah akan mengadakan penyelidikan. Bahkan, jika terbukti melakukan tindak pidana atau melanggar hukum, itu bisa diteruskan ke proses hukum selanjutnya
“Saya menyarankan agar sebaiknya gugatan tersebut didiamkan dan tidak usah ditanggapi. Kalau didiamkan saja, tidak usah digubris, hakim juga tidak bisa mengambil putusan apa-apa. Karena memang tidak ada kompetensi pada pengadilan untuk menyidangkan gugatan tersebut. Bahwa kasus ini bukan murni soal hukum. Ada tujuan politik di balik gugatan tersebut, dan nuansa itu yang lebih kental. Sebaiknya publik tidak terjebak dalam perdebatan mengenai teknis hukum dalam kasus ini. Percuma berdebat dari segi hukum, padahal ini ada skenario politik.Yang menentukan sah atau tidaknya dokumen berita acara dan atau penetapan adalah pengambilan keputusan di DPR sendiri,” katanya. (b06).