PEPATAH, “Meludahlah pada tempat yang bersih agar tidak kotor pada saat kamu menjilatnya kembali” menyiratkan pesan yang mendalam tentang pentingnya berhati-hati dalam menyampaikan pendapat atau pernyataan.”
Menurut pandangan salah seorang akademisi dari Kampus Peradaban IAIN Lhokseumawe, Dr. Bukhari, MH, CM saat dikonfirmasi terkait pesan moral yang terkandung dalam pepatah tersebut mengatakan, dari perspektif norma hukum dan empiris, pepatah ini dapat diartikan sebagai pengingat bahwa setiap ucapan atau tindakan memiliki konsekuensi yang mungkin berbalik kepada kita, terutama dalam konteks hukum dan masyarakat.
Perspektif Norma Hukum
Dari perspektif norma hukuman, kata Bukhari, pepatah ini relevan dengan prinsip-prinsip tanggung jawab hukum atas pernyataan publik. Setiap individu memiliki kebebasan berpendapat, namun kebebasan ini tidak mutlak. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28E ayat (3) menjamin kebebasan setiap orang untuk berpendapat, tetapi juga diatur oleh norma hukum lainnya seperti UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik).
UU ITE sebut Bukhari, mengatur tentang penyebaran informasi yang bersifat fitnah, pencemaran nama baik, atau ujaran kebencian dapat berujung pada sanksi pidana. Artinya, jika seseorang tidak berhati-hati dalam berpendapat dan melanggar norma hukum, mereka bisa menghadapi konsekuensi hukum yang serius.
Selain itu, kata Bukhari lebih jauh, dalam konteks perdata, doktrin ‘estoppel’ juga relevan. Doktrin ini mengajarkan bahwa seseorang tidak boleh menarik kembali atau mengingkari pernyataan atau tindakan yang telah mereka buat jika hal tersebut merugikan pihak lain yang telah bergantung pada pernyataan tersebut.
“Ini menunjukkan bahwa dalam hukum, seseorang harus bertanggung jawab atas konsistensi pernyataan mereka, atau mereka akan menghadapi akibat hukum dari ketidak konsistenan tersebut,” terang Dr. Bukhari, MH, CM kepada Waspada.id, Senin (26/8) siang.
Selanjutnya, lanjut Bukhari, secara empiris, dampak dari pernyataan yang tidak dipikirkan dengan baik sering kali menjadi bumerang bagi individu, baik dalam konteks sosial maupun profesional.
Misalnya, penelitian dalam psikologi sosial menunjukkan bahwa orang cenderung mengingat dan menilai negatif pernyataan yang bersifat kontradiktif atau inkonsisten dari tokoh publik atau pemimpin. Hal ini dapat merusak reputasi dan kredibilitas seseorang di mata publik.
Dalam dunia digital, katanya lagi, jejak digital yang ditinggalkan oleh pernyataan kita juga sulit untuk dihapus. Ini berarti bahwa apa yang kita katakan atau tulis dapat dilihat kembali oleh siapa pun kapan saja.
“Kasus-kasus di mana seseorang harus meminta maaf atau bahkan diadili atas pernyataan mereka di masa lalu menunjukkan betapa pentingnya berhati-hati dalam setiap pernyataan yang kita buat.”
Empirisme juga menunjukkan bahwa masyarakat secara kolektif memantau dan menilai perilaku individu. Fenomena “cancel culture,” misalnya, menunjukkan bahwa masyarakat dapat bertindak sebagai pengadil moral terhadap individu yang dianggap melanggar norma sosial atau hukum, meskipun secara informal.
“Ini mencerminkan bagaimana norma sosial dan hukum dapat berinteraksi dalam mengatur perilaku individu di ruang publik,” kata Bukhari memberitahukan.
Dari perspektif norma hukum dan empiris, pepatah, sebut Bukhari, “Meludahlah pada tempat yang bersih agar tidak kotor pada saat kamu menjilatnya kembali” menekankan pentingnya tanggung jawab dan kehati-hatian dalam setiap pernyataan atau tindakan.
Norma hukum, kata Bukhari, memberikan batasan yang jelas tentang apa yang boleh dan tidak boleh disampaikan di ruang publik, sementara data empiris menunjukkan bahwa inkonsistensi atau ketidakhati-hatian dalam berpendapat dapat berujung pada konsekuensi sosial dan profesional yang serius.
“Oleh karena itu, menjaga integritas dan konsistensi dalam berpendapat bukan hanya penting dari sisi moral, tetapi juga dari perspektif hukum dan kenyataan sosial yang kita hadapi sehari-hari,” pungkas Dr. Bukhari, MH, CM di akhir wawancara dengan Waspada.id. WASPADA.id/Maimun Asnawi, S.HI,M.Kom.I