ACEH UTARA (Waspada): Proses seleksi terbuka, Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Pratama di Kabupaten Aceh Utara untuk mengisi delapan jabatan eselon II belum juga diikuti dengan pelantikan bagi peserta yang lolos. Situasi ini menuai kritik karena dianggap sebagai pemborosan anggaran tanpa hasil yang nyata, serta berdampak langsung pada efektivitas pelayanan publik di Aceh Utara .
Dr Bukhari, MH, CM, advokat dan mediator, menyatakan bahwa kekosongan jabatan eselon II di sejumlah dinas penting di Aceh Utara akibat lambatnya pelantikan menunjukkan lemahnya tata kelola pemerintahan di tingkat daerah.
Menurutnya, ketiadaan pejabat definitif berimplikasi pada penurunan kinerja pemerintah daerah yang semestinya mampu memenuhi kebutuhan publik. Hal ini dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), yang menekankan pentingnya profesionalitas dan efektivitas dalam pengisian jabatan strategis melalui mekanisme seleksi terbuka.
“Seleksi JPT ini telah melalui tahapan resmi dengan pembiayaan negara. Mandeknya pelantikan bertentangan dengan asas efektivitas dan efisiensi dalam pengelolaan keuangan negara,” ungkapnya.
Bukhari menegaskan bahwa Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mewajibkan setiap pejabat untuk bertindak cepat, tepat, dan akuntabel.
Ketiadaan pelantikan pejabat terpilih berpotensi melanggar prinsip-prinsip tersebut dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, khususnya Pasal 3 yang menuntut pengelolaan keuangan negara yang transparan dan berorientasi pada hasil.
Lebih lanjut, aturan terbaru, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 78 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi di Lingkungan Pemerintah Daerah, memberikan dasar hukum yang lebih jelas dalam pengisian jabatan pimpinan tinggi di daerah.
Pasal 13 Permendagri 78/2023 menekankan bahwa dalam kondisi kepala daerah dijabat oleh Penjabat (Pj), proses pelantikan tetap harus dilaksanakan dalam waktu yang wajar setelah seleksi selesai, dan hanya menunggu persetujuan dari Menteri Dalam Negeri jika dibutuhkan.
“Rendahnya komunikasi dan koordinasi antara Pj Bupati Aceh Utara dan Pj Sekretaris Daerah dengan satuan kerja di pusat yang membidangi hal ini mengindikasikan kurangnya kompetensi dalam mengelola urusan ini, yang pada akhirnya merugikan kepentingan masyarakat Aceh Utara,” tambah Dr. Bukhari.
Dalam beberapa daerah lain yang juga dipimpin oleh Penjabat, proses pelantikan tetap bisa berjalan lancar dengan regulasi dan izin yang sama, menunjukkan bahwa kendala tersebut tidak semata disebabkan oleh status Pj kepala daerah tetapi oleh regulqsi yang lain.
Masyarakat berharap pemerintah daerah segera menyelesaikan proses ini dengan transparansi dan kepastian dalam penempatan jabatan demi menjaga kepercayaan publik dan memastikan pelayanan publik di Aceh Utara berjalan optimal.
“Ke depan kita berharap pada bupati terpilih jangan salah menempatkan dan memilih pembantunya,” kata Bukhari. (b07).