LANGSA (Waspada.id): Komunitas Pelaku Usaha Ekspor Import Aceh (KPUEI) menyoroti wacana pembangunan pabrik minyak goreng di Aceh yang tak kunjung terealisasi selama dua dekade terakhir. Ketua KPUEI, Nasruddin Abubakar Maun, mendesak Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Aceh untuk tidak hanya menjadi penonton, tetapi menjadi aktor utama dalam transformasi ekonomi Aceh.
“Sudah 20 tahun Aceh berwacana bangun pabrik minyak goreng, KADIN Aceh jangan hanya jadi penonton,” tegas Nasruddin dalam siaran persnya, Senin (3/11).
Menurut Nasruddin, Aceh memiliki 52 unit Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang setiap harinya memproduksi Crude Palm Oil (CPO) dalam jumlah besar. Namun, seluruh hasil produksi tersebut masih dikirim ke luar daerah untuk diolah kembali. “Akibatnya, Aceh tetap menjadi pemasok bahan mentah, bukan produsen bernilai tambah,” jelasnya.
KPUEI juga menyoroti ironi bahwa Bank Aceh Syariah lebih banyak menempatkan dana masyarakat Aceh dalam bentuk obligasi senilai lebih dari Rp7 triliun. Padahal, untuk membangun satu pabrik pengolahan minyak goreng dibutuhkan investasi sekitar Rp200–Rp300 miliar saja. Nasruddin berpendapat, jika sebagian kecil dana tersebut dialihkan ke pembiayaan sektor riil, Aceh mampu membangun puluhan pabrik pengolahan minyak goreng, membuka ribuan lapangan kerja baru, dan memperkuat ketahanan pangan daerah.
KPUEI menyerukan agar KADIN Aceh segera membentuk konsorsium investasi bersama pengusaha lokal untuk mendirikan pabrik minyak goreng curah dan kemasan di Aceh. Selain itu, Bank Aceh Syariah diharapkan dapat mengalokasikan sebagian dana obligasi untuk pembiayaan sektor industri pengolahan daerah, serta Pemerintah Aceh memfasilitasi kawasan industri, infrastruktur, dan dukungan perizinan terpadu untuk industri minyak goreng.
“Sudah waktunya Aceh keluar dari jebakan ekonomi bahan mentah. Kita harus kembali menjadi aktor ekonomi yang berdiri di atas kaki sendiri,” pungkas Nasruddin. (Id75)













