SINGKIL (Waspada): MAA Aceh Singkil bekerjasama dengan Yayasan HAkA menggelar FGD untuk melestarikan kawasan Rawa Singkil, melalui tradisi dan budaya masyarakat Singkil, Senin (26/5/2025).
Focus Group Discussion (FGD) yang dihadiri masyarakat dari Kemukiman Rantau Gedang Kecamatan Singkil ini, bertujuan untuk menyelamatkan kawasan Rawa Singkil, dengan mengedepankan kearifan lokal masyarakat setempat, dan potensi alamnya tetap dapat dimanfaatkan masyarakat.
Kegiatan tersebut turut dihadiri Camat Singkil Khairuddin, mewakili Kadis Lingkungan Hidup (LH) Sabran, Kasek MAA Abd Rahman serta para pemerhati lingkungan lainnya.
Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Aceh Singkil Zakirun Pohan SAg MM saat membuka kegiatan menyampaikan, pentingnya mengedepankan tradisi dan budaya masyarakat setempat untuk melestarikan kawasan Rawa Singkil yang kini sudah banyak dirambah, dan beralih menjadi kebun kelapa sawit.
“Rawa Singkil diciptakan Allah SWT sebagai paru-paru dunia yang dapat menyerap karbon dioksida dan pencemaran udara. Dan ini sudah banyak dirambah dan harus kembali kita selamatkan, dari sisi adat dan budaya,” ucap Zakirun.
“Melalui FGD ini akan kita rangkum bagaimana tradisi maupun kebiasan masyarakat dalam pemanfaat potensi alam yang ada dikawasan Rawa Singkil namun dengan tidak merusaknya,” tambahnya.
Seperti mengambil lebah, mengambil kayu bakar, menangkap lele. Dan ada aturan yang menjadi tradisi masyarakat di Kemukiman Rantau Gedang itu juga harus kita terus lestarikan sebagai kearifan lokal menjaga Rawa Singkil tersebut.
“Kearifan lokal yang kita jaga ini, menjadi sangat penting dilakukan untuk menjaga lingkungan,” ucap Zakirun.
Konsultan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) Ahmadi dalam sambutannya menyampaikan, Rawa Singkil merupakan kekayaan alam yang sangat berharga.
“Dan masalah Rawa Singkil ini menjadi isu hangat di tingkat Internasional dan menjadi perhatian lembaga dunia,” ujarnya.
Menurut dia, bukan hanya menjadi pusat perlindungan hewan langka dan maupun lokasi mata pencaharian warga, melainkan Rawa Singkil sebagai penyerap karbon beracun yang dihasilkan dari negara-negara industri seperti India dan Cina.
“Maka dunia heboh bagaimana Rawa Singkil harus tetap lestari,” ucap Ahmadi.
Tujuan utama dari diskusi ini, kata dia, untuk mengumpulkan informasi dari para pelaku di lapangan.
“Kemudian akan kita rangkum dan buat buku populer, dan bukan buku ilmiah, agar bisa menjadi daya tarik anak-anak untuk membacanya di masa depan,” pungkas Ahmadi.
Kegiatan diskusi yang dilaksanakan menjadi topik menarik untuk dibahas. Masing-masing peserta yang bermukim di sekitar kawasan Rawa Singkil termasuk dari Pemerintah Daerah menyampaikan pengalamannya tentang keberlangsungan di Rawa Singkil.
Salah satu warga yang bermukim di sekitaran kawasan Rawa Singkil Amrul Badri dalam kegiatan tersebut mengisahkan perjalanan hidupnya sejak lahir hingga saat ini di kawasan pinggir sungai tersebut.
Katanya, kearifan lokal masyarakat di Kemukiman Rantau Gedang sejak dahulu sampai sekarang masih sangat dipatuhi.
Masyarakat yang hendak mengambil kayu juga ada aturan larangan. Dulu jika ingin menebang harus karena dasar kebutuhan. Namun harus minta izin dulu tokoh desa setempat, kemudian baru dilihat dulu dikaji oleh orang yang ahli baru boleh ditebang untuk kebutuhan seperti bangun rumah.
Terbukti sampai sekarang 1 ha pun kawasan Lae Tekhep tidak ada yang dirambah di kawasan Rawa Singkil itu.
“Mungkin karena kearifan lokal ini lah maka kelestarian SM Rawa Singkil di wilayah Aceh Singkil ini tetap terjaga, sehingga menarik untuk diceritakan dalam sebuah buku yang akan diterbitkan nantinya,” ucapnya.
Namun kebiasaan kenduri Pea di masyarakat kini mulai terkikis dan terlupakan. Dahulu masyarakat jika gelisah atau resah serta hasil berkurang dari kawasan Lae Tekhep, masyarakat akan menggelar Kenduri Pea, untuk berdoa memohon rezeki dan menolak marabahaya.
“Dan tidak ada konflik antara manusia maupun satwa liar di kawasan itu dari dulu sampai sekarang,” pungkas Amrul. (b25)