PIDIE (Waspada.id): Senja di Kecamatan Tangse, Senin (1/12), turun perlahan seperti tirai kelabu. Di Blang Pandak, sisa matahari hanya memantul tipis di genangan lumpur. Di tengah suasana muram itu, sebuah Pajero hitam berhenti mendadak di tikungan licin. Dari dalamnya turun Bupati Pidie H. Sarjani Abdullah, SH, MH. Jaketnya penuh percikan lumpur pertanda panjangnya rute yang ditempuhnya hari itu.
Sejak pagi ia bergerak dari Kembang Tanjong, lalu Simpang Tiga, hingga senja mencapai Tangse. Warga yang baru pulang dari sungai membawa air bersih sempat berhenti melihat kedatangannya. Anak-anak, sebagian masih bermain di lumpur, menatap bupati dengan ragu namun penuh harap.
Seorang ibu memeluk erat balitanya. “Air naik cepat malam itu, tak sempat selamatkan apa pun,” ujarnya pelan. H Sarjani menepuk lembut bahunya. “Yang penting ibu dan anak selamat. Rumah bisa kita bangun lagi.” cerita seorang ibu muda.

Berdasarkan laporan BPBD Pidie, per 3 Desember 2025 pukul 15.04 WIB, banjir melanda 17 kecamatan dan 178 gampong, berdampak pada 14.986 KK atau 43.900 jiwa.Sebanyak 24.369 jiwa masih mengungsi, sementara 41 rumah rusak berat dan 14.371 rumah terendam.
Kerusakan merata pada semua sektor, sekolah rusak berat: 1 unit, Dayah rusak berat: 1 unit, Jalan desa rusak: 1.600 meter, Irigrasi, tambak, dan lahan pertanian ikut hancur, dan korban meninggal 2 orang
Di posko utama, aroma bunga kemboja bercampur asap dapur umum. Relawan mengganti panci yang gosong, sementara petugas BPBD baru turun dari lokasi longsor. “Jalan ke hulu makin tergerus, Pak Bupati,” lapor seorang petugas. “Kita cek malam ini,” jawabnya cepat.
Bupati yang Tidak Pulang
Ketika hari meredup, sebagian pejabat memilih kembali ke kantor namun H Sarjani tetap berada di lokasi. Mantan Panglima GAM itu tidak segan melangkah di jalur terjal menuju titik longsor Blang Pandak. Sopirnya sempat ragu membawa mobil mendaki jalan gelap berbatu. “Terlalu licin, Pak.” kata sopir. “Kita harus lihat kondisi warga,” jawab H Sarjani singkat.
Di jalur sempit itu, hanya suara serangga dan bunyi kerikil yang jatuh. Di belakangnya, rombongan relawan membawa lampu sorot seadanya.
Meski berada di lapangan, komunikasi H Sarjani dengan pusat tidak pernah berhenti. Informasi yang diperoleh Waspada menunjukkan bahwa pukul 17.00–20.00 WIB merupakan waktu ia paling aktif menghubungi kementerian dan BNPB.
“Pidie darurat,” ujarnya dalam pesan suara ke pejabat pusat. “Prioritaskan alat berat untuk daerah daerah terdampak”
Seorang pejabat di Jakarta mengaku, “Pak Bupati tidak pernah berhenti menekan. Dia ingin Pidie masuk daftar prioritas rehabilitasi.”
Hj Rohana, Senja, dan Anak-anak
Hadir pula istri bupati, Hj. Rohana Razali. Ia lebih banyak berkeliling di tenda perempuan dan anak-anak, mengganti pakaian balita atau membagikan selimut. “Bunda bilang jangan tidur dekat pintu tenda, angin sore bahaya,” kata salah seorang ibu tersenyum kecil.Sentuhan kecil itu membuat suasana pengungsian terasa lebih hangat.

Duka yang Ditahan
Seorang perangkat gampong mengaku melihat air mata di sudut mata H Sarjani saat mendengar cerita seorang kakek yang kehilangan rumah dan sawah. Namun ia cepat mengusap wajahnya. “Kalau saya menangis, nanti rakyat makin jatuh,” katanya. Di depan warga, ia tetap berjalan cepat, tetap tersenyum, dan berusaha menguatkan.
Muhammad Taufik, seorang warga, menunjuk ke arah bupati yang sedang memeriksa peralatan dapur umum. “Kalau bukan dia, siapa lagi? Sore ini kami tidak sendiri. Beliau itu bapak rakyat.” Katanya dengan nada terharu.
Dari senja yang muram itu, terlihat satu hal, H Sarjani Abdullah hadir justru pada jam-jam paling rawan, ketika gelap membawa cemas bagi pengungsi dan medan semakin berbahaya.
Namun pekerjaan setelah bencana jauh lebih besar, apakah kehadirannya di lapangan akan diterjemahkan menjadi kebijakan pemulihan yang kokoh dan cepat? Masyarakat Pidie menunggu jawabannya dalam hari-hari mendatang. Muhammad Riza/Waspada.id












