SIGLI (Waspada.id): Harapan Abdurahman, 68 tahun, untuk menikmati hasil panen jagung manis lenyap begitu saja. Banjir bandang yang melanda persawahan Gampong ( desa-red) Meunasah Cut, Rabu (26/11), menghanyutkan seluruh tanaman yang baru berusia dua bulan.
Lumpur dan kayu gunung yang terbawa arus menutupi tanah seluas puluhan meter, sekaligus memusnahkan potensi penghasilan Rp 6 juta yang biasa menjadi penopang hidup keluarga.
Abdurahman hidup sederhana di Beureueh, Kecamatan Mutiara Timur. Jagung manis yang ditanamnya tidak sekadar tanaman, melainkan harapan. Setiap tongkol yang siap dipanen berarti biaya makan, berobat, dan kebutuhan cucu serta istrinya.
Namun pada pagi 26 November lalu, ketika hujan deras mengguyur pegunungan Bukit Barisan, Tiro, Kabupaten Pidie sungai yang biasanya menyejukkan, DAS Krueng Tiro meluap. Arus deras menghantam persawahan, membawa lumpur setinggi hampir satu meter dan bongkahan kayu gunung.
“Saya tidak sempat berbuat apa-apa. Semua hilang begitu saja,” kata Abdurahman dengan suara parau, matanya menatap tanah yang kini tertutup lumpur. “Jagung saya habis terbawa arus. Uang untuk kebutuhan sehari-hari dan berobat ikut hilang.” ceritanya lirih.
Bagi Abdurahman, bencana ini bukan hanya soal kehilangan materi, tetapi juga pupusnya harapan. Ia menceritakan bahwa jagung yang ditanam dua bulan lalu sudah mulai berbuah. Jika panen, hasilnya cukup untuk menopang hidupnya dan keluarganya selama beberapa bulan. Kini, semua itu hanyut dalam sekejap.
Dampak Banjir
Banjir yang melanda Beureueh dan sekitarnya bukanlah yang pertama kali terjadi. Namun, debit air yang tinggi dari hulu DAS Krueng Tiro kali ini luar biasa. Selain menggenangi sawah, arus deras menghancurkan tanaman, menutup saluran irigasi, dan membawa material kayu yang menumpuk di pematang sawah.

Sejumlah warga lain yang ditemui Waspada.id juga menderita kerugian serupa. Mereka harus membersihkan lumpur dan kayu sebelum bisa kembali menanam. Beberapa di antaranya mengaku butuh biaya tambahan yang tidak sedikit untuk mengembalikan kondisi tanah seperti semula.
“Banjir kali ini sangat hebat. Lumpur dan kayu menutupi seluruh sawah. Kami harus mulai dari nol,” kata Samsudin,45 tahun, petani lain di Gampong Meunasah Cut.
Perjuangan Membersihkan Sawah
Meski usianya tidak lagi muda, Abdurahman tidak mau menyerah. Dengan tangan keriput, ia mencoba menyingkirkan lumpur dan kayu dari sawahnya. Setiap cangkul yang menancap ke tanah adalah upaya keras untuk menghidupkan kembali harapannya.
“Ini ujian dari Allah SWT. Kita harus sabar dan terus berusaha,” ujarnya. Meskipun harapan pupus, semangatnya tetap hidup. Baginya, membersihkan sawah adalah langkah pertama untuk kembali menanam jagung manis, demi kelangsungan hidup keluarga.
Peristiwa ini menegaskan hubungan rapuh antara manusia dan alam. DAS Krueng Tiro, yang menjadi sumber kehidupan masyarakat, menunjukkan sisi lain: kekuatan yang tidak bisa dikendalikan manusia.
Lumpur dan kayu yang terbawa arus adalah bagian dari siklus alam, tetapi bagi warga, itu berarti pekerjaan berat dan pengorbanan ekstra untuk memulihkan sawah.
Ahmad, seorang pemerhati pertanian di Kecamatan Mutiara Timur, menekankan pentingnya mitigasi bencana dan pengelolaan DAS. “Petani kecil seperti Abdurahman sangat rentan. Sungai yang meluap menghancurkan hasil tani dan menimbulkan kerugian besar. Perlu upaya bersama untuk menata DAS agar risiko banjir berkurang,” ujarnya.
Meski harapannya pupus, Abdurahman tetap tegar. Bagi petani berusia lanjut ini, bencana hanyalah bagian dari kehidupan yang harus dihadapi dengan kesabaran dan kerja keras. “Saya akan mulai kembali menanam. Harapan boleh pupus hari ini, tetapi besok masih ada kesempatan,” kata Abdurahman sambil menatap tanah yang kini bersih dari kayu gelondongan. Muhammad Riza











