SIGLI (Waspada.id): Tertundanya pembukaan penuh ruas Jalan Tol Sigli–Banda Aceh (Sibanceh) kembali menimbulkan sorotan tajam. Di balik megahnya proyek strategis nasional yang diharapkan mempercepat konektivitas Aceh itu, tersimpan kisah getir warga yang menilai harga ganti rugi tanah mereka “tidak manusiawi”, bahkan disebut hanya seharga setengah bungkus rokok.
Ini terungkap dalam acara penyelesaian pergantian Kerugian Tanah Tol, di Cafe SPBU, Gintong, Kecamatan Gorong-Grong,Kabupaten Pidie.Rabu (29/10) pagi. Dalam acara yang dihadiri Wagub Aceh Fadlullah ( Dek Fad),Wabup Pidie Alzaizi, bersama Unsure Muspida Provinsi Aceh dan Kabupaten Pidie.
Terungkap,di kawasan Padang Tijie, Kabupaten Pidie, puluhan warga masih menunggu kepastian pembayaran ganti rugi yang hingga kini belum tuntas. Harga yang ditawarkan, menurut mereka, berkisar antara Rp7.000 hingga Rp17.000 per meter persegi, jauh dari harga pasar yang berlaku di wilayah tersebut.
“Kami bukan menolak pembangunan tol. Kami hanya ingin keadilan. Tanah kami dihargai terlalu rendah. Jerih payah kami tolong dihargai,” ujar Ibrahim ,73, warga Gampong Pulo Hagu, dengan nada getir.
Warga lainnya menyebut proses penetapan harga dilakukan tanpa melibatkan mereka secara layak. “Kami ingin tahu dasar penetapan harga itu. Jangan hanya keputusan dari atas, kami ini pemilik tanah,” kata seorang tokoh masyarakat Padang Tijie.
Lima Kali Rapat, Hasil Nihil
Sejumlah warga mengaku telah menghadiri sedikitnya lima kali rapat musyawarah, namun tidak satu pun menghasilkan kejelasan terkait nilai maupun jadwal pembayaran. Ketidakpastian ini membuat sebagian warga merasa diabaikan.
Menurut mereka, pembangunan tol seolah hanya memprioritaskan percepatan proyek tanpa mempertimbangkan nasib masyarakat yang tanahnya digunakan. Beberapa petani bahkan kehilangan lahan garapan tanpa kompensasi yang layak, membuat sumber mata pencaharian utama mereka hilang.
“Rumput yang dulu kami jual Rp30.000 per kilogram, sekarang tidak ada lagi. Lahan kami sudah jadi beton,” keluh Ibrahim lirih. “Kami ingin maju, tapi jangan sampai kami kehilangan hak kami.” kata warga.
Wagub: Penyelesaian Harus Mufakat
Menanggapi keluhan warga, Wakil Gubernur Aceh, Fadlullah (Dek Fad), yang hadir dalam pertemuan di Kafe Galon Gintong, Rabu (29/10), menegaskan bahwa pemerintah daerah akan mengedepankan musyawarah.
Ia mengakui sebagian dana ganti rugi telah dititipkan ke pengadilan, namun ia mengingatkan bahwa penyelesaian tanpa mufakat bisa menimbulkan luka sosial baru.
“Secara hukum, uangnya memang sudah dititipkan. Tetapi kami ingin semua diselesaikan secara mufakat agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan,” ujar Dek Fad.
Dalam kunjungan itu, Wagub turut didampingi Wakil Bupati Pidie Alzaizi, unsur Forkopimda Aceh dan Pidie, serta perwakilan PT Hutama Karya (HK) selaku pelaksana proyek.

Perwakilan PT HK, Slamet, menjelaskan bahwa sebagian lahan masih menunggu keputusan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), terutama yang berada di kawasan hutan lindung. “Kami berharap proses administrasi segera tuntas agar pembayaran bisa dilakukan dan tol dapat beroperasi penuh,” ujarnya.
191 Bidang Belum Terbayar
Data Kecamatan Padang Tijie menunjukkan proyek tol melintasi 16 gampong. Di Gampong Pulo Hagu saja, terdapat 191 bidang tanah, dan 23 di antaranya belum menerima pembayaran.
Camat Padang Tijie, Asriadi, menyebut sebagian lahan sudah ditangani dengan dana talangan PT HK, namunmasoh banyak bidang belum dibayar, karena terkendala status lahan masih tumpang tindih atau berada di wilayah hutan lindung. “Kami berharap semua bidang dapat segera dibayar. Jangan ada yang tertinggal,” ujarnya.
Sementara itu, Keuchik Pulo Hagu, Edi Sepriadi, mengaku seluruh berkas sudah diserahkan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) sesuai prosedur. “Kami dijanjikan pembayaran 14 hari setelah tanda tangan. Sampai sekarang belum ada kabar,” katanya.
Kemajuan yang Menyisakan Luka
Tol Sigli–Banda Aceh (Sibanceh) menjadi simbol kebangkitan infrastruktur Aceh—jalan bebas hambatan pertama yang membentang dari Sigli hingga Banda Aceh. Namun di balik kebanggaan itu, tersisa luka sosial yang belum sembuh.
“Pemerintah jangan salahkan kami. Kami rakyat kecil hanya minta dihargai. Saya sudah hidup 73 tahun, tapi ini rasanya seperti penjajahan. Bayarlah lahan kami dengan wajar,” tutur Ibrahim, yang juga anggota panitia pembebasan lahan.
Wakil Gubernur Fadlullah berjanji akan membawa keluhan warga ke meja mediasi antara pemerintah, BPN, dan kontraktor. Ia berharap polemik ini bisa diselesaikan secara damai tanpa perlu menunggu proses hukum panjang yang justru memperlambat manfaat proyek bagi masyarakat luas.
Antara Beton dan Keadilan
Tol Sibanceh mungkin siap diresmikan kapan saja. Namun bagi warga Padang Tijie, jalan menuju keadilan masih tertutup rapat. Di atas aspal yang mulus, masih terhampar cerita warga yang kehilangan tanah, kenangan, dan sumber kehidupan mereka.
Proyek strategis nasional ini semestinya menjadi jalan bagi kemakmuran, bukan lorong menuju ketimpangan. Di ujung jalan tol yang menghubungkan dua kota besar itu, warga masih menunggu satu hal sederhana: pengakuan atas hak mereka.
Muhammad Riza













