BANDA ACEH (Waspada.id): Hingga hari ke-28 pasca bencana hidrologi yang melanda Aceh dan sejumlah wilayah Sumatera, ribuan warga terdampak masih berada dalam kondisi kehidupan yang tidak layak. Situasi ini menunjukkan kegagalan serius negara dalam menjamin hak dasar warga negara atas keselamatan, perlindungan, dan lingkungan hidup yang sehat.
Hal tersebut ditegaskan dalam diskusi publik yang digelar Komunitas Inisiatif Konservasi Hutan Wakaf (IKHW) bersama masyarakat sipil Rabu (23/12/2025) sore hingga malam di salah satu Kafe di seputaran Gampong Pango, Kota Banda Aceh.
Diskusi kritis tapi santai dan hangat itu dihadiri akademisi dari Universitas Syiah Kuala, STIK Pante Kulu dan Unuversitas Serambi Mekkah. Juga dihadiri praktisi lingkungan dan unsur Masyarakat sipil seperti HaKA, MIT, HAB, RUMAN Aceh, Pertamina Foundation. Hadir pula dari Ombudsman dan Kanwil Kemenag Aceh.
Inisiator IKHW, Afrizal Akmal mengungkapkan, bencana yang berulang ini bukan peristiwa alam biasa, melainkan bencana ekosistem yang lahir dari akumulasi kesalahan tata kelola ruang, perusakan daerah aliran sungai (DAS), ekspansi perkebunan monokultur dan pertambangan, serta lemahnya penegakan hukum lingkungan.
“Atas dasar itu, kami mendesak Presiden Republik Indonesia untuk segera menetapkan status bencana nasional atas bencana hidrologi di Aceh dan Sumatera sebagaimana hasil Muzakarah Ulama Aceh yang diselenggarakan pada 14 Desember 2025 di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh”, tegas Akmal.
Muzakarah Ulama Aceh tersebut merekomendasikan empat hal. Pertama, penetapan status bencana nasional atas bencana hidrologi di Aceh dan Sumatera. Kedua, pembukaan akses bantuan internasional demi percepatan pemulihan kemanusiaan. Ketiga, penanganan bencana tidak berbasis kalkulasi politik, melainkan berbasis keselamatan rakyat. Empat, penegakan hukum tegas terhadap seluruh bentuk perusakan lingkungan yang terbukti memperparah risiko bencana.

Sementara itu, Muhammad Ikhsan SH, MH, Koordinator Hukum dan Advokasi di Yayasan Hutan, Alam dan Satwa Aceh (HaKa) menegaskan, bahwa realitas politik kerap menutup mata terhadap peringatan ilmiah. Ia menyebut adanya indikasi ketidakseriusan negara, yang berujung pada lahirnya tuntutan kuat agar status bencana segera dinaikkan menjadi bencana nasional.
Sedangkan Ivan Krisna, praktisi lingkungan, memaparkan secara gamblang bahwa Aceh dan Sumatera tidak layak dipaksakan menjadi wilayah monokultur, khususnya sawit. Penggantian hutan dan kebun karet dengan sawit, kanal-kanal yang memotong topografi, serta tanah liat yang kehilangan daya serap air telah menciptakan wadah kecil dengan limpasan air raksasa. Sungai yang seharusnya menjadi indikator kesehatan ekosistem justru memperlihatkan endapan rusak dan fungsi ekologis yang runtuh.
“Melawan banjir dengan infrastruktur semata adalah pendekatan keliru. Yang diperlukan adalah membangun kembali keseimbangan ekosistem dengan menjadikan DAS sebagai basis utama kebijakan tata ruang, serta melindungi jalur sungai purba sebagai bagian tak terpisahkan dari mitigasi bencana”, ujarnya.
Dr. Ir. Dahlan, S.Hut., M.Si., IPU., yang mewakili Rektor Universitas Syiah Kuala (USK) menggarisbawahi bahwa kegagalan tata ruang Aceh telah berlangsung lama. RTRW tidak pernah benar-benar berbasis DAS dan usulan buffer ekologis berupa kebun campuran yang menyerupai hutan, diabaikan. Ironisnya, di tengah kawasan budidaya yang sudah sangat luas, masih terdapat dorongan konversi hutan lindung.
“Sangat penting melakukan redesain kawasan hutan, termasuk mengakui fakta bahwa banyak hutan berada di luar kawasan hutan negara dan memerlukan koordinasi serius antara BPN dan DLHK. Tanpa tim tata ruang yang dinamis dan multistakeholder, Aceh akan terus berjalan menuju bencana berikutnya”, ungkap Dahlan.
Di tampat yang sama, Affan, seorang praktisi hukum, menyebut pemerintah berada dalam kondisi “kesepian gagasan”. Ribuan alat berat beroperasi di kawasan hutan, sementara respons negara berjalan lamban dan reaktif. Menurutnya, momentum ini harus dimanfaatkan untuk mendorong gerakan jangka pendek dan jangka panjang: dari tanggap darurat, pemulihan ekosistem sungai, hingga advokasi hukum dan gugatan kebijakan.
A.F. Annahar, peminat sosial, mengingatkan agar energi gerakan ini tidak padam. Sementara Afrizal Akmal, Inisiator Inisiatif Konservasi Hutan Wakaf menegaskan, bahwa bergerak cepat hanya mungkin jika berpikir jernih dan berbasis pengetahuan.
Sebagai tindak lanjut, IKHW bersama elemen masyarakat sipil merekomendasikan dan menuntut, pertama, evaluasi total seluruh izin sawit dan tambang di Aceh. Kedua, moratorium sawit dan pertambangan hingga daya dukung ekosistem pulih. Ketiga, review menyeluruh RTRW Aceh berbasis DAS. Keempat, pemetaan seluruh DAS, dengan ketentuan minimal 30% kawasan DAS wajib berupa tutupan hutan. Kelima, perlindungan sungai purba sebagai infrastruktur ekologis alami.(Id66)










