Kabut turun perlahan di kaki Gunung Halimon, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie. Udara pagi dingin menusuk, sementara dari kebun-kebun warga, roma durian menguar samar, bercampur wangi dedaunan hutan yang basah. Alam tampak tenang, nyaris menipu mata seolah tidak pernah menyimpan murka.
Di tengah bentang alam pegunungan itu, Muhammad Hanafi berdiri sendiri. Kakinya berpijak di atas hamparan batu besar, kayu patah, dan material baru yang menutup bekas tapak rumahnya. Di titik inilah, ia dulu pulang setiap sore. Di sinilah ia menaruh lelah setelah seharian menggarap kebun dan sawah.

Kini, yang tersisa hanyalah ruang kosong.
Rumah itu hilang, hanyut disapu banjir bandang yang datang saat Subuh, 26 November 2025. Hanafi adalah petani kebun dan sawah. Hidupnya sederhana, bergantung sepenuhnya pada tanah di kaki pegunungan Tangse.
Dari hasil panen yang tidak selalu pasti, ia menabung sedikit demi sedikit, lalu membangun rumah dengan tangannya sendiri. Setiap papan adalah keringat. Setiap tiang adalah doa. Semua itu lenyap dalam satu subuh.
Malam belum sepenuhnya pergi ketika hujan mengguyur kawasan hulu Gunung Halimon tanpa henti. Air dari lereng terjal menghimpun kekuatan, menyeret batu-batu besar dan batang kayu. Suara gemuruh datang tiba-tiba panjang dan menggetarkan memecah sunyi dini hari.
Hanafi terbangun dalam kepanikan.
Tidak ada waktu berpikir. Ia menggandeng istrinya, menggendong anaknya, lalu berlari menembus gelap. Beberapa detik setelah mereka menjauh, arus menghantam permukiman. Rumah itu roboh, diseret, lalu hilang seolah tidak pernah ada.

Tidak satu pun barang terselamatkan.
Pakaian. Dokumen. Peralatan bertani.
Semua hanyut bersama arus. “Yang penting anak dan istri selamat,” ujar Hanafi lirih, menahan getar suara.
Kini, Hanafi dan keluarganya menumpang tinggal di rumah saudara. Mereka berbagi ruang sempit dan ketidakpastian. Tidur tanpa ranjang sendiri. Hidup tanpa rumah sendiri. Bagi Hanafi, luka itu berlapis. Ia kehilangan tempat tinggal sekaligus pijakan hidup sebagai petani. Sebagian kebun dan sawahnya rusak. Saluran irigasi tertutup lumpur dan batu.
Tragedi yang menimpa Hanafi bukan peristiwa tunggal. Menurut Keuchik Gampong Blang Pandak, Muhammad Yanis, banjir bandang tersebut menghantam tiga dusun. Ratusan warga terdampak, sebagian harus mengungsi ke meunasah dan masjid.
Pendataan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pidie memperlihatkan skala kerusakan yang lebih luas. Kepala Pelaksana BPBD Pidie, Muhammad Rabiul, Rabu (24/12) menyebutkan bahwa banjir bandang akhir November 2025 menyebabkan kerusakan berat pada permukiman dan infrastruktur dasar di kawasan pegunungan Tangse.

BPBD mencatat, khusus di Gampong Blang Pandak, terdapat 90 unit rumah terdampak. Dari jumlah tersebut, 63 unit rumah rusak berat hingga hilang terseret arus, sehingga tidak dapat ditempati kembali. Selain itu, 17 unit rumah rusak sedang dan 10 unit rumah rusak ringan.
Kerusakan juga meliputi jalan permukiman dan jalan kebun, saluran irigasi sepanjang lebih dari satu kilometer, serta lahan pertanian warga.
“Curah hujan tinggi di kawasan hulu menyebabkan debit air meningkat drastis dan membawa material besar dari pegunungan. Wilayah Tangse, termasuk Blang Pandak, merupakan daerah rawan banjir bandang,” ujar Muhammad Rabiul.
Bagi Muhammad Hanafi, angka-angka itu tidak sekadar statistik. Semua menyatu dalam satu kenyataan pahit,
ia kehilangan rumah, kehilangan rasa aman, dan kehilangan tempat berpijak.
Kini, Gunung Halimon kembali diam. Sungai yang dulu mengamuk mengalir tenang. Kabut turun setiap pagi, seolah menutup luka yang ditinggalkan. Namun bebatuan besar di bantaran sungai dan kayu-kayu yang tersangkut di pepohonan menjadi saksi bahwa alam pernah murka.
Di tengah keheningan itu, Hanafi memilih berdamai dengan takdir. “Ini cobaan dari Allah. Insya Allah ada jalan.” katanya pelan.

Bagi Muhammad Hanafi, membangun kembali bukan hanya soal mendirikan rumah. Ia ingin kembali menegakkan hidup mengolah kebun, mengairi sawah, dan membesarkan anaknya dari hasil keringat sendiri.
Di kaki Gunung Halimon, di atas tanah yang kini tertutup batu dan lumpur, Hanafi berdiri dengan satu keyakinan,
manusia boleh kehilangan segalanya,
tetapi selama iman masih digenggam,
harapan tidak pernah benar-benar hanyut. Muhammad Riza/WASPADA.id










