Scroll Untuk Membaca

AcehHeadlines

ISAD Aceh: Persoalan Empat Pulau Ingkari Semangat Damai Aceh

ISAD Aceh: Persoalan Empat Pulau Ingkari Semangat Damai Aceh
Wakil Ketua Umum DPP ISAD Aceh Dr. Tgk. Tabrani ZA., S.Pd.I., MSi., MA, Sabtu (14/6). Waspada/Syafrizal
Kecil Besar
14px

BANDA ACEH (Waspada): Dewan Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Alumni Dayah (DPP ISAD) Aceh, mengecam keras penetapan sepihak empat pulau yang menjadi hak mutlak Provinsi Aceh, ke dalam wilayah Sumatera Utara (Sumut), yang dinilai sebagai bentuk sikap Pemerintah Pusat mengingkari semangat perdamaian Aceh.

Wakil Ketua Umum DPP ISAD Aceh Dr. Tgk. Tabrani ZA., S.Pd.I., M.S.I.,MA kepada Waspada, Sabtu (14/6), menyatakan penolakan keras terhadap keputusan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, yang menetapkan empat pulau, Panjang, Lipan, Mangkir Gadang dan Mangkir Ketek, sebagai bagian dari wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.

Menurutnya, keputusan tersebut dinilai sebagai tindakan sepihak, yang tidak hanya melanggar logika administratif, tetapi juga mengkhianati komitmen damai dan keadilan historis, yang telah disepakati dalam konteks kekhususan Aceh.

Dalam pernyataan resminya, Tabrani ZA yang juga dikenal sebagai akademisi UIN Ar-Raniry dan Universitas Serambi Mekkah, serta peneliti pada SCAD Independent itu menyebutkan bahwa, keempat pulau tersebut secara sosial, historis dan administratif, telah menjadi bagian dari ruang hidup masyarakat Aceh, khususnya di wilayah Aceh Singkil.

Selama bertahun-tahun katanya, pelayanan publik, aktivitas ekonomi nelayan, serta relasi sosial dan budaya, telah berjalan dalam kerangka wilayah Aceh.

“Ini bukan semata soal peta atau batas koordinat. Ini menyangkut harga diri dan legitimasi Aceh, sebagai daerah yang memiliki kekhususan berdasarkan perjanjian damai internasional. Empat pulau itu adalah bagian dari identitas dan kehormatan rakyat Aceh. Ketika negara menetapkannya ke provinsi lain tanpa musyawarah, tanpa konsultasi, maka negara sedang memaksakan kebenaran sepihak dan membungkam sejarah hidup masyarakat,” tegas Tabrani, di Kantor DPP ISAD Simpang Jambo Tape, Banda Aceh.

Tabrani mengatakan, Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138/2025, mencerminkan bentuk dominasi kekuasaan pusat, yang menutup ruang dialog dan partisipasi. Dia menilai, langkah Kemendagri tersebut merupakan bentuk kekuasaan hegemonik, yang tidak lagi mendasarkan dirinya pada consent atau persetujuan rakyat. “Negara menggunakan instrumen hukum untuk menghapus realitas sosial. Ini sangat berbahaya dalam konteks Aceh, yang masih menyimpan luka kolektif dari konflik bersenjata masa lalu,” ujarnya.

Tabrani mengingatkan, Aceh merupakan daerah bekas konflik, yang berhasil melewati fase paling sulit melalui mekanisme damai internasional. Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki 2005, menjadi pondasi utama penyelesaian konflik Aceh dan telah melahirkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang menjamin otonomi substansial bagi Aceh, termasuk dalam mengelola wilayah administratifnya.

“Dengan latar belakang itu, keputusan Kemendagri bukan hanya salah arah secara administratif, tetapi juga merupakan pengingkaran terhadap dasar-dasar legal dan politis dari perjanjian damai. Jika negara bisa begitu mudah melanggar kesepakatan ini, maka rakyat Aceh juga bisa kehilangan alasan untuk percaya pada negara,” sebutnya.

Pihaknya juga menyoroti pendekatan negara, yang menyarankan agar Pemerintah Aceh menggugat keputusan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Menurutnya, pendekatan itu justru menunjukkan bahwa pusat tidak memahami konteks kekhususan Aceh. Ia menilai, menyarankan jalur hukum administratif atas persoalan yang sejatinya merupakan bagian dari struktur otonomi khusus dan konsensus damai, adalah bentuk pelecehan terhadap status Aceh.

“Empat pulau itu adalah bagian dari wilayah administrasi Aceh, titik. Menyarankan agar Aceh menggugat ke PTUN, seolah-olah Aceh adalah pihak yang sedang merampas, padahal justru Aceh yang sedang dirampas,” tegasnya kembali.

Tabrani menyerukan, agar pemerintah pusat mengambil langkah korektif dan membuka ruang rekonsiliasi politik secara nyata. Ia mengusulkan agar forum dialog terbuka segera digelar, melibatkan Pemerintah Aceh, para tokoh adat, akademisi dan masyarakat yang terdampak. Ia juga mendorong audit ulang atas data dan pemetaan wilayah secara partisipatif dan transparan.

“Jangan jadikan peta sebagai senjata, tapi jadikan sejarah sebagai penunjuk arah. Negara harus hadir sebagai fasilitator keadilan, bukan sebagai pelaku penghapusan simbolik. Bila tidak dikoreksi, keputusan ini akan memperkuat jarak politik dan psikologis antara Aceh dan negara,” katanya.

Tabrani menutup pernyataannya dengan peringatan keras, bahwa dampak dari keputusan ini bisa jauh lebih serius dari yang dibayangkan. Ia menilai bahwa jika negara gagal menjaga martabat rakyat Aceh, maka rakyat akan menjaga dirinya sendiri dengan cara mereka sendiri.

“Ini bukan hanya tentang empat pulau. Ini tentang harga diri Aceh. Jika negara tidak menjaga harga diri rakyatnya, maka rakyat akan memilih menjaga dirinya sendiri. Dan sejarah telah mencatat apa yang terjadi ketika kepercayaan itu hilang,” pungkasnya.(b21)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE
Aceh

BANDA ACEH (Waspada): Presiden Prabowo Subianto telah memutuskan pengembalian empat pulau di Aceh Singkil yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek kepada Provinsi Aceh.  Keputusan…