Scroll Untuk Membaca

Aceh

Jembatan Gantung Tua Lhok Keutapang, Kisah Dari Ujung Asa Para Petani Tangse

Jembatan Gantung Tua Lhok Keutapang, Kisah Dari Ujung Asa Para Petani Tangse
Kecil Besar
14px

SIGLI (Waspada.id): Di tepian Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Rambong, Gampong Lhok Keutapang, Dusun Geunie, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie, ada sebuah jembatan yang kini tinggal bayang dari masa jayanya.Jembatan gantung Geunie, namanya. Ia telah berdiri lebih dari 43 tahun lamanya tua, renta, dan kini nyaris menyerah dimakan usia.

Besi-besinya kropos, tali penggantungnya berkarat, abutmennya miring nyaris roboh. Papan kayu yang menjadi lantainya bolong di sana-sini, berganti-ganti dengan papan seadanya hasil gotong-royong warga. Setiap langkah kaki yang melintas di atasnya terasa seperti perjudian nyawa.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Namun bagi masyarakat Gampong Lhok Keutapang, jembatan itu bukan sekadar sarana penyeberangan. Ia adalah urat nadi kehidupan yang menghubungkan dua desa, Alue Calong dan Lhok Keutapang, juga penghubung antara manusia dan harapan.

Setiap pagi, jembatan itu menjadi saksi iring-iringan anak-anak berseragam sekolah, meniti papan yang rapuh sambil menggenggam tali kawat berkarat. Dari arah berlawanan, para petani berjalan pelan memanggul hasil kebun, durian, cokelat, langsat, jagung, padi gogo, hingga palawija lain yang tumbuh di tanah subur Tangse.

“Kalau menyeberang, kami hanya bisa berdoa. Kadang papan patah, kadang tali terlepas. Teapi mau bagaimana lagi, ini satu-satunya jalan,” ujar Muhammad, 37, Ketua Pemuda Gampong Lhok Keutapang yang juga seorang petani, saat ditemui di pinggir sungai Geunie, Jumat (31/10).

Jembatan Usang, Denyut yang Masih Bertahan

Jembatan gantung Geunie dibangun pada awal 1980-an. Kala itu, ia menjadi simbol kemajuan gampong, menghubungkan dua wilayah yang sebelumnya terpisah oleh derasnya aliran sungai. Tetapi waktu tidak berpihak. Empat dekade berlalu, usia jembatan kini telah melampaui batas daya tahannya.

Karat tebal menutupi setiap batang besi. Di beberapa bagian, besi sudah patah, meninggalkan celah yang menganga. Sementara kayu di lantai jembatan lapuk dimakan hujan dan panas, retak, dan kerap bergoyang tiap kali dilalui warga.

“Kalau hujan deras, sungai meluap dan jembatan ikut bergoyang. Anak-anak sering kami larang melintas, tetapi bagaimana, sekolah ada di seberang,” tutur Mustafa, Keuchik Lhok Keutapang, dengan nada berat.

Warga telah berulang kali melakukan perbaikan swadaya. Mereka mengumpulkan papan bekas, memaku seadanya, hanya untuk memperpanjang napas jembatan tua itu. Tetapi kini, kondisi semakin parah. “Kami sudah tidak sanggup lagi memperbaikinya sendiri. Butuh bantuan pemerintah,” sambung sang keuchik.

Ketahanan Pangan di Ujung Sungai

Wilayah di seberang jembatan Geunie bukanlah tanah kosong. Di sanalah terhampar lebih dari 120 hektare lahan produktif, kebun dan sawah yang menjadi tumpuan hidup ratusan petani dari berbagai kecamatan. Tangse, Keumala, Kota Bakti, hingga Mutiara.

Di sana tumbuh subur hasil bumi unggulan Tangse, durian, cokelat, langsat, padi gogo, dan palawija. Lahan ini bukan hanya sumber penghidupan warga, tetapi juga bagian dari program ketahanan pangan nasional.

Namun akses yang terputus membuat ekonomi rakyat tersendat. Tanpa jembatan layak, hasil panen sulit dibawa turun ke pasar. Truk tidak bisa melintas, warga harus memanggul hasil kebun satu per satu, menyeberang di atas papan lapuk yang bisa runtuh kapan saja.

“Kalau jembatan permanen dibangun, kendaraan besar bisa masuk. Kami bisa jual hasil panen lebih cepat dan harga bisa bagus,” kata Muhammad.
Ia juga berharap agar pembangunan irigasi Geunie yang rusak akibat banjir segera dilanjutkan. “Tanpa air, sawah kami mulai kering. Padahal ini lahan subur sekali,” kata Muhammad dengan nada polos.

Saksi Sunyi dari Tepi Waktu

Sore itu Jumat (31/10) matahari di Gampong Lhok Keutapang, Tangse perlahan turun di balik bukit. Cahaya jingga memantul di permukaan sungai, sementara jembatan gantung Geunie berdiri diam, menua bersama waktu. Di bawahnya, air mengalir membawa cerita puluhan tahun perjuangan rakyat kecil yang tidak pernah kehilangan harap.

Dari kejauhan, terdengar tawa anak-anak yang baru pulang sekolah. Mereka berlari kecil di atas jembatan, tidak sepenuhnya sadar bahwa setiap langkah kecil mereka di atas papan lapuk itu adalah tarian di antara bahaya dan doa.

“Kalau jembatan ini putus, habis sudah harapan kami,” ujar Keuchik Mustafa lirih.

Di ujung jembatan, beberapa petani tengah menambal lubang dengan papan bekas peti buah. Mereka bekerja tanpa upah, hanya demi memastikan besok anak-anak bisa berangkat sekolah, dan hasil panen bisa sampai ke rumah.

Harapan yang Tak Pernah Padam

Kini, harapan warga Gampong Lhok Keutapang hanya satu: pemerintah segera membangun jembatan permanen yang layak, agar akses ekonomi dan pendidikan tetap hidup di wilayah itu.

“Demi kesejahteraan masyarakat, kami mohon kepada pemerintah untuk membangun jembatan permanen di gampong kami. Satu jembatan bagi kami bukan sekadar beton dan besi. Itu adalah jalan menuju masa depan,” pinta Muhammad dengan mata yang menatap jauh ke arah sungai.

Sungai Geunie terus mengalir di bawahnya, membawa cerita lama dan mimpi baru warga Gampong (Desa) Lhok Keutapang. Sementara jembatan gantung tua itu masih berdiri ringkih namun setia menunggu tangan-tangan yang peduli untuk mengangkatnya kembali, sebelum waktu dan karat benar-benar menenggelamkan harapan.

Muhammad Riza

Pemandangan indah di atas bukit Gampong Lhok Ketapang yang tumbuh subur tanaman padi gunung milik petani, Jumat (31/10).Waspada.id/Muhammad Riza

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE