Pagi itu, halaman kecil PAUD/TK Negeri Bungong Meulu, Bungie, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie kembali dipenuhi suara aneuk-aneuk (anak-anak—red).
Anak-anak PAUD bernyanyi pelan, sebagian menggambar di lantai, sebagian lain bermain kejar-kejaran. Namun suasana berubah seketika ketika suara mobil terdengar mendekat dari ujung jalan.
Anak-anak menoleh bersamaan. Mereka sudah mengenali suara itu. Sebuah mobil box pengantar Makanan Bergizi Gratis (MBG) melintas perlahan tepat di depan sekolah mereka. Mata kecil itu berbinar. Beberapa anak berlari ke pagar. Ada yang tersenyum. Ada yang menunjuk sambil berseru kecil.
Harapan itu hanya bertahan beberapa detik. Mobil MBG tidak berhenti. Ia terus melaju, lalu berbelok masuk ke SD Negeri Bungie, sekolah tempat abang-abang mereka belajar. Jaraknya terpaut sekitar 40 meter. Terlalu dekat untuk tidak terasa. Terlalu dekat untuk tidak menyisakan luka.
Seorang anak TK berdiri lama di pagar besi berkarat. Dengan suara polos ia bertanya,“Bu… nyan makanan keu abang-abang nyoe?” (Bu… itu makanan untuk abang-abang ya?)
Tidak lama kemudian, anak lain menunduk dan berbisik lirih, “Lon hana han meureupok pajoh, bu…” (Saya tidak dapat makan, Bu).
Tidak ada tangis keras. Tidak ada teriakan. Kesedihan itu hadir dalam diam. Dalam mata yang memandang ke arah sekolah sebelah. Dalam langkah kecil yang kembali ke kelas tanpa kata.
PAUD/TK Negeri Bungong Meulu sendiri dipimpin oleh Kepala Sekolah Kamaliah, S.Pd. Sekolah ini memiliki 18 orang murid yang dibimbing oleh 5 orang guru. Dengan keterbatasan fasilitas di wilayah pedalaman, para guru tetap berupaya memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak usia dini di Bungie.
Di Kabupaten Pidie, program MBG telah berjalan sekitar lima bulan. Di wilayah perkotaan, anak-anak sekolah sudah lebih dulu merasakannya. Setiap pagi, mereka menerima makanan bergizi, makan bersama di kelas, tertawa dengan perut kenyang. Bagi mereka, MBG telah menjadi rutinitas.
Namun bagi aneuk-aneuk PAUD/TK Negeri Bungong Meulu—wilayah pedalaman Bungie—MBG hanyalah pemandangan yang lewat. Setiap hari. Tanpa pernah singgah. Tokoh masyarakat Bungie, Ridwan, menyebut perbedaan ini menimbulkan rasa yang sulit dijelaskan kepada anak-anak.

“Di kota, anak-anak sudah makan di sekolah. Di sini, anak-anak hanya melihat mobil itu lewat. Padahal mereka sama-sama anak Indonesia,” ujarnya dengan nada berat.
Menurut Ridwan, keadilan bagi anak-anak tidak seharusnya ditentukan oleh jarak, apalagi oleh lokasi pedalaman. Ia menegaskan, anak-anak PAUD di Bungie memiliki hak yang sama untuk tumbuh sehat dan mendapatkan perhatian negara.
Anak-anak PAUD/TK Negeri Bungong Meulu akhirnya duduk kembali di kelas. Menggambar matahari. Menulis huruf pertama dalam hidup mereka. Mereka kembali tertawa, karena anak-anak selalu menemukan cara untuk bahagia.
Namun di balik tawa itu, ada pertanyaan besar yang belum mampu mereka ucapkan.
Mengapa anak-anak di kota bisa makan di sekolah, sementara mereka tidak? Di Bungie, aneuk-aneuk PAUD masih belajar banyak hal. Belajar membaca. Belajar berbagi. Dan tanpa mereka sadari, belajar tentang ketidakadilan—terlalu dini.
40 Meter jarak sekolah, dan berpuluh kilometer jarak kebijakan, memisahkan mereka dari sepiring makanan bergizi. Di ruang kelas kecil di pedalaman Bungie, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie, anak-anak masih menunggu. Menunggu giliran. Menunggu kehadiran. Menunggu keadilan yang seharusnya tidak memilih tempat.
Muhammad Riza











