TAPAKTUAN (Waspada.id): Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Aceh Selatan kembali diguncang kritik. Solidaritas Masyarakat Peduli Daerah (SMPD) mendesak audit etik dan pembekuan kontrak penyedia yang terindikasi sarat konflik kepentingan.
Kasus mutu menu di Kecamatan Pasie Raja jadi pemicu. Hidangan MBG dinilai asal jadi, jauh dari standar gizi.
“DPRK seharusnya mengawasi, bukan jadi penyedia atau pihak yang diuntungkan. Kalau vendor diduga terkait pemegang kewenangan, ke mana publik harus mengadu?” ujar Koordinator SMPD, M. Ridha Hamtabis dalam keterangan tertulis kepada Waspada.id di Tapaktuan, Minggu (14/9).
Ridha menuding ada oknum DPRK dan pejabat di lingkungan Pemkab yang lebih sibuk mengurus bisnis MBG ketimbang menjalankan tugas pokoknya.
“Jangan hanya mengurus kepulan dapur keuntungan pribadi, sementara dapur rakyat Aceh Selatan tidak berasap karena defisit dan masalah ekonomi,” sindirnya.
SMPD mengingatkan, pengadaan MBG tunduk pada Perpres 16/2018 jo. Perpres 12/2021 yang melarang konflik kepentingan. UU MD3 juga melarang anggota DPRD mengerjakan proyek terkait kewenangannya, sementara ASN dilarang menyalahgunakan jabatan untuk keuntungan pribadi (PP 94/2021).
“Aceh Selatan masih dibebani penggeseran APBK yang belum tuntas, defisit yang belum selesai, dan PAD yang belum optimal. Jangan sampai energi DPRK habis untuk ‘bisnis atas nama negara, ” katanya.
SMPD menuntut audit menyeluruh UKPBJ–Inspektorat terhadap semua penyedia, pembekuan kontrak bermasalah, dan tender ulang yang terbuka bagi UMKM non-terafiliasi. Badan Kehormatan DPRK diminta segera memeriksa dugaan pelanggaran UU MD3 dan menindak tegas anggota yang rangkap peran.
“DPRK harus kembali ke fungsi legislasi dan pengawasan, bukan ikut jadi pemain proyek. Jika tidak sanggup menertibkan diri, lebih baik mundur,” tegas Ridha.
Menurutnya, penataan ulang MBG mutlak dilakukan demi melindungi hak anak sekolah dan masyarakat.
“Kepulan dapur tak boleh memadamkan integritas,” pungkasnya.
Merespon tudingan tersebut, Ketua DPRK Aceh Selatan, Rema Mishul Azwa, menegaskan DPRK sama sekali tidak alergi terhadap kritik. Justru, menurutnya, kritik adalah bahan koreksi bersama untuk menjaga kualitas jalannya program nasional.
“Kritik itu vitamin demokrasi. Apa yang disuarakan SMPD adalah bentuk kepedulian terhadap mutu program nasional. Tugas kami adalah memastikan kritik tidak berhenti sebagai wacana, tetapi ditindaklanjuti secara prosedural dan konstitusional,” ujar Rema saat dikonfirmasi Minggu (14/9).
Ia menambahkan, DPRK akan mendalami dugaan konflik kepentingan yang mengemuka dan siap memprosesnya melalui mekanisme resmi.
“Kalau ada anggota DPRK yang terindikasi melanggar UU MD3 atau kode etik, pintu Badan Kehormatan selalu terbuka. Proses itu pasti berjalan dengan bukti, bukan sekadar asumsi,” tegasnya.
Lebih jauh, terkait indikasi keterlibatan anggota DPRK dalam program MBG, Rema tidak mengetahui secara pasti, sebab tidak ada pemberitahuan secara resmi kepada dirinya sebagai ketua.
“Sebagai ketua DPRK, saya tidak atau belum mendapat laporan secara resmi baik dari anggota maupun dari masyarakat mengenai keterlibatan di MBG, di luar itu saya tidak bisa menduga-duga dalam memberikan keterangan di luar kewenangan” ucap politisi PNA ini.
Rema juga menjelaskan bahwa Badan Gizi Nasional (BGN) tidak bermitra langsung dengan individu, melainkan dengan yayasan. Yayasan tersebutlah yang kemudian membangun dapur, menyiapkan peralatan, serta menggandeng investor.
“BGN tidak bermitra langsung dengan perorangan, tetapi dengan yayasan. Yayasan itu yang membangun dapur, menyediakan peralatan, lalu menggandeng investor,” terang Rema.
Rema mengajak publik untuk bersama-sama mengawasi pelaksanaan program MBG dengan cara yang sehat dan berbasis data.
“Mari kita kawal program ini dengan data dan niat baik. Jangan sampai ruang publik hanya dipenuhi prasangka, tapi kosong dari fakta. Saya pastikan DPRK akan menjaga integritas lembaga sekaligus hak masyarakat,” pungkasnya. (id85)