BANDA ACEH (Waspada): mengacu kepada UU No 40 tahun 1999 tentang Pers maka fungsi yang harus dimainkan media adalah sebagai penyebar informasi, pendidik, hiburan dan kontrol sosial. Jika fungsi-fungsi ini tidak dijalankan oleh media, bisa jadi kehadirannya tidak memberikan dampak positif.
Padahal, media apapun seharusnya bisa membuat masyarakat semakin cerdas sekaligus mampu mengungkap banyak kasus penyimpangan yang dilakukan penyelenggara pemerintah. Sebaliknya, publik bisa semakin bingung jika media hanya mengejar ranting.
Dalam kondisi seperti itu, konten yang ditawarkan hanya mengikuti selera pemesan informasi, tidak menampilkan produk jurnalistik yang profesional.
Karena informasi yang disuguhkan semata-mata demi mengejar jumlah pengunjung atau mencapai klik sebanyak-banyaknya. Jika ini banyak dilakukan, maka media hanya menjadi penyebar berita dan informasi yang tidak bermutu bahkan mungkin tidak mencerdaskan serta tidak dapat menjadi kontrol sosial bagi kebijakan pemerintah.
Seperti apa yang disampaikan oleh, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Dahlan Jamaluddin, wajah Aceh hari ini ditentukan oleh media.
Dalam pertemuanya dengan Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Aceh, Senin (24/5/2022) Dahlan menyampaikan dalam konteks negara demokrasi, media ataupun profesi wartawan sebagai pilar ke 4 demokrasi mestinya juga punya kontribusi yang lebih besar untuk Aceh.
Jadi wajah atau tampilan Aceh ini, dilihat oleh orang luar tergantung dengan apa yang disampaikan oleh media.
“Kalau yang disampaikan Aceh itu wajah pecah belah, retak-retak segala macam,
penuh dengan katakanlah misalnya panu, cacar, penuh dengan hal-hal yang seperti itu, tampilan Aceh keluar ya juga seperti itu,”
Dia menyebutkan, siapapun yang melihat Aceh dari luar, Aceh kini sedang tidak baik-baik saja dari semua sisi dan semua isu seperti kemiskinan, kasus narkoba dan kejahatan seksual yang kian meningkat. Tapi belum ada yang bisa dilakukan oleh negara dalam menyelesaikan banyak persoalan itu.
Dengan kondisi tersebut, menurutnya generasi muda Aceh sekarang ini merasa Aceh tidak ada harapan, tidak ada optimisme pada diri mereka untuk menggapai cita-cita yang cerah. Oleh karena itu, perlu ada kontribusi media untuk membantu kegelisahan anak muda Aceh mungkin dengan menulis berita-berita tentang kesuksesan putra putri maupun tokoh-tokoh Aceh, bukan hanya menulis tentang berita-berita jelek saja.
Dengan berita-berita yang seperti itu diharapkan bisa membantu memotivasi atau memberi dukungan untuk generasi muda Aceh agar optimis dalam menjalankan kehidupan kedepannya.
Dahlan menuturkan, pada dasarnya masing-masing media punya visi misi tersendiri, punya ADRT sendiri dan penekanan tersendiri dalam konteks keberpihakan segala macam tapi bersifat keumuman dan kepentingan dalam bicara ke Aceh-an atau nasional.
Dia mengatakan hari ini cukup banyak persoalan-persoalan serius yang luput dari perhatian media, misal seperti tata kelola pemerintah, kebijakan pemerintah, SiLPA dan lain sebagainya.
Walaupun pemberitaan seperti ini tidak menjadi headline dan tidak banyak pembacanya namun sangat menarik jika ditulis dan dilakukan pendalaman lebih lanjut.
Terkadang ucap Dahlan, yang subtantif, butuh pendalaman dan penting disampaikan kepada publik tidak pernah disampaikan oleh media. Akan tetapi jika ada yang tidak pas terkait pola hubungan eksekutif dengan legislatif atau orang bertengkar itu menjadi headline, bukan hanya di media online bahkan di media cetak sekalipun, menurutnya itu kurang pas.
Dia menuturkan, kedepan orang semakin cerdas dalam konteks pemberitaan, jika hanya sekedar menyampaikan peristiwa atau menulis hanya sekadar ada perintah itu akan kalah dengan media sosial, maksudnya akan kalah dengan cuitan netizen dan tidak akan masuk substansinya.
Contoh lain misalnya, bicara peristiwa banjir, dalam sehari itu memberitakan banjir dengan jumlah korban berapa dan pembagian sembako bagaimana, habis itu saling hujat atau turun kelapangan sebagai pencitraan saja.
Hanya sebatas itu, tidak ada substansi apapun bahwa peristiwa banjir yang berulang setiap tahun yang memberikan dampak dan kerugian yang cukup besar bahkan bisa dihitung dibandingkan dengan kebijakan intervensi program kegiatan pemerintah terhadap infrastruktur misalnya, jaringan irigasi dan lain sebagainya dibanding dampak yang ditimbulkan.
Tentunya terkait peristiwa yang terjadi ucap Dahlan, ada masalah yang lebih besar, baik itu dari tata kelolanya maupun kebijakannya, dan masalah itu perlu untuk digali dan disampaikan oleh media.
Dahlan berharap, pemberitaan media juga bisa masuk kedalaman wilayah indepth yang seperti itu untuk memberikan formulasi alternatif untuk kebijakan pemerintah.
“Atau kita bicara masalah narkoba ya hanya sebatas penangkapan narkoba dan selesai sampai disitu. Apa yang dilakukan polisi dan BNN setelah itu, jaringan siapa, kenapa dengan mudahnya masuk ke Aceh tidak ada yang menulisnya. Artinya berita penangkapan narkoba itu hanya sebatas lewat, tidak ada kesan apa-apa, tidak meninggalkan narasi serta tidak ada nilai, hanya berita peristiwa saja,” tuturnya.
Kemudian lanjutnya, pemberitaan tentang kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, beritanya sebatas itu behindnya tidak pernah ditulis. Misal, apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah sehingga itu masih menjamur. Jadi tidak ada referensi apapun untuk mengatasi masalah-masalah itu.
Selain itu kata Dahlan, ada banyak isu-isu publik di Aceh yang perlu ditelusuri lebih dalam, baik itu tentang kemiskinan, pengangguran, stunting dan angka kematian ibu hamil.
Memang pada konteks tertentu kelihatannya tidak menarik untuk ditulis, tapi ketika ditulis seperti itu juga ada segmennya, kalau hanya berita sampah tidak ada bedanya dengan kelompok hore-hore yang ada diluar, yang tidak memberikan kontribusi apapun.
Media Punya Pengaruh Penting Dalam Menentukan Arah Kebijakan Pemerintah
Dahlan menuturkan, dalam konteks dunia hari ini yang sudah digital, dorongan publik menjadi sangat berpengaruh untuk menentukan arah kebijakan pemerintah. Biasanya suatu kebijakan itu apabila di dorong oleh media bisa berubah kebijakannya, akan tetapi media saat ini belum masuk ke wilayah seperti itu.
Artinya, yang indepth itu lebih menarik walaupun sebenarnya dengan perkembangan digital dan kehadiran media siber cepat-cepatan diharapkan tidak mengurangi substansinya.
Dahlan menyebutkan, seiring berkembangnya teknologi dan digitalisasi semakin banyak media online yang sudah berkembang dengan luar biasa, ditambah lagi dengan semakin mudah dari sisi regulasi dan teknis membuat media.
“Hari ini siapa pun bisa menjadi wartawan tinggal menulis. Tanpa terhubung dengan media pun hari ini dengan kekuatan media sosial yang bersifat personal perkembangannya juga sangat luar biasa untuk mempengaruhi publik,” jelasnya.
Jika dilihat dalam konteks nasional, cuitan di Twitter hari ini bisa mengalahkan headline koran nasional serta juga bisa mempengaruhi kebijakan kepala negara, begitu juga dalam dunia internasional itu. Hak tersebut bisa dikatakan menjadi konsekuensi seiring berkembangnya zaman.
Oleh karena itu, menurutnya kalau tidak dibarengi dengan penguasaan materi dan pemantapan kompetensi profesi secara teknis, kapasitas, wawasan bisa membaca gerak zaman dan membaca isu yang berkembang yang diinginkan oleh publik, politik, media tersebut akan menjadi media sampah karena tidak ada yang baca.
“Walaupun sekarang, kecenderungannya kalau di media online bad news is good news yang penting kejar cepat-cepatan. Kalo kejar cepat-cepat dengan media sosial hari ini masyarakat bisa lebih cepat. Kalau hanya mengejar rating, namun tidak ada substansi,” tutupnya. (Kia/b02)
Keterangan foto : SMSI Aceh saat beraudiensi dengan Ketua DPRA Dahlan Jamaluddin. Waspada/Kia