Aceh

Ketua Komisi 1 DPRA: TNI Jangan Salah Kaprah, Fokus Tangani Bencana

Ketua Komisi 1 DPRA: TNI Jangan Salah Kaprah, Fokus Tangani Bencana
Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Teungku Muharuddin
Kecil Besar
14px

BANDA ACEH (Waspada.id): Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Teungku Muharuddin, mengecam keras aksi anarkis yang dilakukan aparat keamanan di Aceh Utara terhadap konvoi massa dari Pidie yang membawa bantuan ke Aceh Tamiang.

Menurutnya, tindakan kekerasan terhadap massa yang juga mengibarkan Bendera Bulan Bintang itu bisa memperburuk keadaan dan mengganggu stabilitas keamanan serta perdamaian Aceh.

“Massa itu jelas tujuan mereka hanya ingin membawa bantuan untuk korban bencana di Aceh Tamiang. Selain itu, massa lainnya yang juga menggelar aksi hanya menuntut pemerintah pusat untuk menetapkan status bencana nasional, dengan harapan penanganan korban bencana bisa dilakukan cepat dan maksimal,” kata Teungku Muharuddin menanggapi beredarnya sejumlah video di media sosial terkait kekerasan aparat keamanan terhadap warga Aceh yang ingin membawa bantuan ke Aceh Tamiang, Jumat (26/12/2025).

Teungku Muharuddin menilai, pengibaran Bendera Bulan Bintang yang telah ditetapkan sebagai Bendera Aceh sesuai Qanun Bendera dan Lambang Aceh, yang dilakukan masyarakat Aceh hari ini bukan sebagai bentuk makar, melainkan hanya sebagai bentuk kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat yang dinilai lamban menangani bencana Aceh.

“Sampai saat ini masih ada korban bencana yang minim bantuan dan masih ada wilayah terisolir. Belum lagi sejumlah wilayah yang masih tertimbun lumpur dan gelondongan kayu juga masih berserakan di lokasi bencana, padahal sudah satu bulan. Jadi rakyat Aceh hanya ingin penanganan bencana Aceh dibantu internasional, seperti tsunami dulu. Ini menyangkut nyawa saudara-saudara kami di lokasi bencana, bukan ada kepentingan lain,” tegas Teungku Muharuddin.

Politisi Partai Aceh ini menambahkan, seharusnya ekpresi kekecewaan masyarakat itu ditanggapi dengan kebijakan-kebijakan yang dapat menenangkan masyarakat atau secara persuasif. Bukan dengan tindakan-tindakan anarkis yang memperburuk keadaan dan mengganggu stabilitas keamanan Aceh, serta mengancam perdamaian Aceh yang telah berjalan 20 tahun ini.

Teungku Muharuddin juga menyayangkan dalam penertiban keamanan massa kemarin, ada pimpinan TNI yang melontarkan kata-kata menyebut Bendera Aceh merupakan Bendera Separatis. Menurutnya Aceh GAM telah bersedia berdamai sesuai Perjanjian Helsinki dan kembali bergabung dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka tidak pantas jika masih disebut separatis karena akan mencederai makna dari perdamaian RI-GAM.

“Dalam penanganan massa dan penertiban keamanan juga yang harus dikedepankan itu kepolisian, ini bukan darurat militer yang harus TNI di depan. Apalagi melontarkan kata-kata ‘separatis’ seperti itu, ini salah kaprah,” tegas Mantan Juru Bicara GAM Wilayah Pasee ini.

“Jika aparat keamanan membiarkan saja massa lewat ke Aceh Tamiang mengantar bantuan, tentu mereka akan pulang juga dengan aman dan tertib. Kan bukan berarti ketika massa tiba di Aceh Tamiang, lalu Aceh Merdeka? sekali lagi saya tegaskan massa hanya ingin menolong saudara-saudara mereka yang tertimpa musibah, jadi tidak perlu diadang atau adanya tindakan yang berlebihan,” ungkap Teungku Muhar.

Untuk itu, pria yang pernah menjabat sebagai pimpinan DPR Aceh periode 2014-2018 itu berharap kepada petinggi-petinggi aparat keamanan di Aceh untuk dapat memberikan perintah dan pemahaman kepada aparat di lapangan agar dapat menahan diri dan menghadapi massa secara persuasif di lapangan.

“Yang paling penting kita semua harus menjaga Aceh tetap kondusif, agar keberlangsungan damai Aceh tetap berlangsung. Apalagi di tengah kondisi Aceh tertimpa musibah ini, kita harus sama-sama bergandengan tangan untuk fokus membantu para korban bencana,” tutup Teungku Muhar.

Keabsahan Bendera Bulan Bintang Sebagai Bendera Aceh

Teungku Muharuddin juga menjelaskan mengenai status Bendera Bulan Bintang yang kini telah ditetapkan sebagai Bendera Aceh yang dikibarkan masyarakat itu merupakan bendera yang lahir atau pelaksanaan dari Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh. 

Bendera Bulan Bintang, dia menegaskan, telah ditetapkan sebagai Bendera Aceh sesuai Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh. Bendera Aceh memiliki dasar keberadaannya yaitu Butir 1.1.5 Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka atau dikenal dengan MoU Helsinki bahwa Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne. 

“Secara hukum Qanun Bendera dan Lambang Aceh sah berlaku sejak tanggal 25 maret 2013,” jelas Teungku Muharuddin.

Teungku Muharudin mengatakan pengawasan represif dapat dilakukan setelah Perda/Qanun itu ditetapkan. Dalam pengawasan represif ini, Pemerintah dapat membatalkan Qanun yang bertentangan dengan Kepentingan umum, Antar qanun; dan Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kecuali diatur lain dalam undang-undang ini (Pasal 235 ayat (2) UUPA).

Hal yang hampir sama, lanjutnya, juga diatur dalam Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu 1. Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama tujuh hari setelah ditetapkan, dan 2. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah. Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama enam puluh hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1); Paling lama tujuh hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama-sama kepala daerah mencabut Perda dimaksud.

“Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dengan alasan dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat(5) dikabulkan sebagian atau seluruhnya, Putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum,” jelas Teungku Muhar.

“Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda tersebut dinyatakan berlaku,” tambahnya.

Politisi Partai Aceh ini menegaskan menaikkan atau mengibarkan bendera sebenarnya melaksanakan norma Qanun Aceh tentang Bendera dan Lambang Aceh, dan tidak berhubungan dengan tindak pidana makar sebagaimana ditentukan Pasal 106 KUHPidana. Hal ini juga sangat tidak relevan ditujukan kepada mantan Kombatan GAM yang telah mengakui eksistensi Negara Kesatuan dan Konstitusi Republik Indonesia melalui kesepakatan MoU Helsinki dan telah mendapat Amnesti Umum dari negara.

“Persoalan politiknya ada pada penetapan Qanun Bendera dan Lambang yang perlu didekati secara politik dan hukum kembali, tidak pada subyek yang melaksanakan qanun. Sehingga dalam perspektif hukum sangat keliru bila subyek yang menaikkan bendera Aceh dikaitkan dengan makar,” tutupnya.

Teungku Muharuddin menjelaskan dalam perspektif hukum NKRI sebagai negara hukum sangat jelas keberadaan Bendera Aceh. Terdapat perspektif lain yang berpegang pada  PP No. 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah (berpandangan bahwa Qanun Bendera Aceh bertentangan dengan PP Nomor 77 Tahun 2007). 

“Kalaulah di sini titik persoalan, maka penanganannya berada di ranah hukum/pembentukan produk hukum, dan tidak ditujukan pada subyek yang pegang bendera Aceh berdasarkan payung hukum Qanun Aceh. Dalam suasana bencana, hal-hal seperti ini dapat disimpan terlebih dahulu, seluruh energi dikerahkan untuk menyelamatkan korban kemanusiaan,” ujarnya.

Dalam masa kebencanaan, Teungku Muhar menambahkan, di mana masyarakat sedang berada dalam duka-penderitaan dan kekecewaan, maka mendistorsikan ekspresi simbolik yang hadir karena rasa kecewa/kurang diperhatikan dihadap-hadapkan dengan menyoal Bendera Aceh dapat berimbas pada tenggelamnya substansi masalah kebencanaan dan kemanusiaan yang akut terjadi di Aceh.

“Di tengah kebencaaan dibutuhkan kehadiran kita bersama, terutama hadirnya negara dengan penuh empati, melindungi dan memulihkan korban kebencanaan dan keadaan dalam berbagai dimensi. Kekecewaan masyarakat atas anggapan pengabaian nilai-nilai kemanusiaan dirasa para korban kebencanaan dicari solusi bukan direpresi,” tutupnya.(rel)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE