Scroll Untuk Membaca

Aceh

MAA Ajak Seluruh Desa Terapkan Peradilan Adat Dalam Penyelesaian Sengketa

MAA Ajak Seluruh Desa Terapkan Peradilan Adat Dalam Penyelesaian Sengketa
Tiga narasumber dari MAA Aceh Singkil, Ketua MAA Zakirun Pohan, Kabid Adat Istiadat Sahbudin MY dan Kasek Abd Rahman saat dialog budaya secara langsung di Stasiun RRI Singkil, dan mengajak masyarakat untuk menerapkan peradilan adat dalam penyelesaian sengketa. Waspada/Ariefh
Kecil Besar
14px

SINGKIL (Waspada): Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Kabupaten Aceh Singkil mengajak seluruh perangkat desa, mukim dan tokoh adat agar mengedepankan penyelesaian sengketa melalui peradilan adat di desa.

Hal itu disampaikan Ketua MAA Aceh Singkil H Zakirun Pohan SAg MM saat dialog interaktif di Radio RRI, dengan tema “Penyelesaian Sengketa dan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) Melalui Peradilan Adat” yang berlangsung, Rabu (10/7/2024).

Scroll Untuk Lanjut Membaca

MAA Ajak Seluruh Desa Terapkan Peradilan Adat Dalam Penyelesaian Sengketa

IKLAN

Dialog Budaya yang disiarkan secara langsung melalui Stasiun Pemancar Radio RRI di Kecamatan Singkil Utara itu berlangsung selama 1 jam penuh.

Selain Ketua MAA turut didampingi Kabid Adat Istiadat Sahbudin MY serta Kepala Sekretariat MAA Abd Rahman SIKom, MSi sebagai narasumber

Lebih lanjut Zakirun menjelaskan, Peradilan Adat itu merupakan peradilan yang dilaksanakan oleh lembaga adat di tingkat kampung atau mukim dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang terjadi dalam masyarakat.

Dan pelaksanaan Peradilan adat ini di luar dari sistem peradilan nasional, sehingga hasil dari sebuah proses peradilan adat ini adalah sebuah keputusan terwujudnya perdamaian dari perselisihan yang terjadi di masyarakat.

“Jadi hasil keputusan dari proses peradilan adat ini tidak ada yang dimenangkan dan dikalahkan. Tapi bagaimana kedua belah pihak yang berselisih bisa saling memaafkan dan berjabat tangan,” ucap Zakirun.

Yang paling penting, payung hukum dalam peradilan adat ini telah diatur dalam UU Dasar 1945 dan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA), dan kemudian dikuatkan dengan Qanun Aceh.

Yang lebih spesifik diatur dalam Qanun Aceh Singkil Nomor.9 tahun 2008 pasal 13, 14 dan 15, yang mengatur bagaimana mekanisme peradilan adat itu, kasus apa-apa saja yang bisa diselesaikan semua diatur dalam qanun tersebut.

Dan pada tahun 2011 juga sudah ada komitmen bersama antara Kapolda Aceh, Gubernur Aceh dan MAA Aceh yang telah membuat kesepakatan bersama, dan dibuat lah MoU untuk penerapan peradilan adat tersebut di Aceh.

Dan pada Diktum ke-6 untuk peradilan adat di tingkat desa adalah bersifat final dan mengikat dan tidak bisa digugat oleh pengadilan di tingkat manapun di Indonesia. “ini yang menjadi dasar peradilan adat,” sebutnya.

Kemudian pada Peraturan Gubernur (Pergub) No. 60 tahun 2013 juga diatur tentang bagaimana beracara dalam menyelesaikan perselisihan itu.

Dan ada 18 perkara yang bisa diselesaikan di tingkat kampung. Siapa-siapa saja yang berhak mengadilinya dan yang berhak menjadi hakim semua dijelaskan disitu.

“Yakni Imam, BPKamp atau Tuha Peut sebagai Hakim Ketua dan ada 3 Hakim anggota, kemudian ada unsur Sekretaris Desa selaku Panitera,” terang Zakirun.

Untuk pelaksanaan peradilannya, jika tidak selesai dalam waktu 3 hari di tingkat desa, maka ada upaya hukum yang lebih tinggi lagi dan dibawa ketingkat mukim. Selanjutnya jika 3 hari juga tidak selesai di tingkat mukim bisa lanjut laporan ke Kepolisian.

“Namun jika tidak selesai juga, sesuai Pergub diberikan kewenangan waktu penyelesaian selama 9 hari proses peradilan harus segera diputuskan dan diselesaikan,” beber Zakirun.

Di tingkat mukim ini ada Imum Cik atau Imam Masjid yang dianggap cakap dan mampu kemudian ada tuha peud dan Sekretaris dari Cendikiawan Ulama dan tokoh lainnya.

“Namun perlu diketahui, untuk pelaksanaan Peradilan Adat di Laut bukan kewenangan desa dan mukim mengadilinya. Tapi ada Panglima Laut, Wakil Panglima Laut serta sekretaris,” terang Zakirun.

Sementara itu Kepala Sekretariat MAA Abd Rahman menyebutkan, meski tidak ada anggaran dalam pelaksanaan sosialisasi Peradilan Adat ini, namun MAA akan terus berupaya bisa melaksanakannya dan mengkampanyekannya melalui stasiun pemancar RRI setiap sebulan sekali.

“Sebab Hukum Adat ini pelaksanaannya memiliki kedudukan tertinggi dalam hukum Indonesia. Sebab pelaksanaannya ini dilakukan bukan karena keinginan tapi landasan kemasyarakatan.

Dan dasar hukumnya diatur pula dalam UUD 1945 pada Pasal 18 b ayat 2 yang menyatakan, bahwa Negara RI mengakui dan menghormati keberadaan hukum dan hak masyarakat adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat selama tidak melanggar prinsip dan ketentuan negara.

Dan masih banyak lagi aturan dan pasal-pasal yang menyatakan kedudukan adat sangat penting, diantaranya UU No 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh kemudian Qanun No 9 tahun 2008 yang menjabarkan tentang jenis dan pelaksanaannya serta apa-apa saja 18 item perkara yang bisa diselesaikan dengan peradilan adat ini,” terang Rahman.

Lebih lanjut Kabid Adat Istiadat MAA Aceh Singkil memaparkan, sejak lama sistem peradilan adat ini sudah dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat terdahulu.

Kemudian, kata dia, karena zaman yang semakin berkembang sehingga pemikiran manusia semakin lebih modern. Sehingga Pemerintah juga merasa perlu untuk melindungi hak-hak peradilan adat ini di masyarakat agar lebih kuat maka dibuatlah undang-undang dan qanun lainnya sebagai regulasi pelaksanaan peradilan adat untuk penyelesaian sengketa dengan jalan perdamaian dan kekeluargaan.

“Kalau masalah perselisihan sudah ribuan yang sudah diselesaikan dengan peradilan adat ini. Seperti yang telah diuraikan Ketua MAA sebelumnya,” ucap mantan Mukim Singkil ini.

“Dan motto nya Peradilan Adat ini, seperti yang selalu diucapkan kepala desa, yakni bagaimana persoalan yang besar bisa dikecilkan dan persoalan yang kecil bisa dihilangkan. Dan bukan harus dibesar-besarkan,” sebutnya.

Kemudian dicontohkannya, untuk pelaksanaan sanksi adatnya seperti pelaksanaan pertunangan selalu disampaikan oleh ninik mamak atau Keuchik (kepala desa).

Disebutkan ninik mamak, ada sanksi adat sebelum sampai ke jenjang pernikahan. Dan jika pihak laki-laki yang melanggar maka uang yang diserahkan kepada pihak perempuan misalnya senilai Rp40 juta akan hangus, sebaliknya jika pihak wanita yang melanggar maka sanksinya Rp40 juta akan didobel menjadi dua kali lipat yakni Rp80 juta,” pungkas Sahbudin.

“Jenis sanksi dalam peradilan adat yang dilakukan dimulai dari berupa teguran, pernyataan maaf, kemudian ada denda finansial yang selanjutnya dimasukkan sebagai kas masyarakat. Namun jika perkelahian yang mengeluarkan darah, maka sanksinya dibayar dengan darah pula. Yang dilakukan dengan memotong ayam dan disaksikan bersama didepan masyarakat, dan dibagi-bagikan pula kepada masyarakat,” tambah Zakirun. (b25)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE