Di tengah puing, lumpur, dan tangisan warga, ada tangan-tangan yang diam-diam bergerak, memanen bencana untuk keuntungan sendiri.
Ribuan batang kayu gelondongan yang datang bersama banjir tidak hanyut oleh arus, melainkan diangkut oleh manusia bermental rayap, meninggalkan jejak keserakahan yang menodai tragedi. Di Kembang Tanjong, bencana alam bertemu dengan tragedi moral.
Banjir bandang 26 November 2025 mengamuk di Sungai Krueng Tiro, Kembang Tanjong, Kabupaten Pidie. Rumah-rumah hancur, jalan terbelah, dan kayu-kayu besar dari hulu tersangkut di tikungan sungai, menghancurkan bantaran, menjadi simbol kerusakan lingkungan dan lemahnya pengawasan hutan.

Seharusnya, tumpukan kayu itu disimpan sebagai barang bukti pembalakan liar. Tetapi beberapa hari pascabanjir, kayu itu lenyap diam-diam. Truk-truk muncul pada malam hari, muatan kayu diangkat, pagi harinya bantaran sungai kosong. Moral dan hukum seakan ikut hanyut bersama batang-batang kayu.
“Kami dilarang mengambil satu batang pun. Tetapi kayu itu diangkut orang lain. Seperti sulap, tapi sulapnya memalukan.” kata seorang warga.

Pada saat yang sama, Pemkab Pidie sibuk membantu warga: mengevakuasi korban, mendirikan dapur umum, membersihkan puing, dan menyelamatkan nyawa serta harta benda. Relawan dan aparat bekerja tanpa henti, sementara di sisi lain, manusia bermental rayap memanen tragedi mengubah bencana menjadi ladang keuntungan pribadi.
Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, melalui juru bicara Muhammad MTA, telah melarang pengambilan kayu bekas banjir agar tetap menjadi barang bukti. Namun di lapangan, larangan itu hanya di atas kertas. Truk-truk keluar-masuk tanpa hambatan, kayu hilang, dan pemerintah daerah belum memberikan jawaban resmi.
“Setiap batang kayu hanyut membawa informasi: jenis kayu, diameter, pola tebangan. Jika kayu hilang, aparat kehilangan pintu masuk penyelidikan. Ini kerugian hukum, lingkungan, dan moral yang luar biasa,” kata Anwar Usman, pengamat lingkungan.
Bencana ini mengungkap dua wajah manusia: yang berjuang untuk hidup dan menyelamatkan sesama, dan yang bermental rayap, diam-diam memanfaatkan situasi, menjarah hak publik, dan merusak kepercayaan.

Kayu yang hilang menjadi simbol tragedi moral dan hukum, ketika keserakahan melampaui nurani. “Banjir sudah menghancurkan rumah kami. Sekarang, kepercayaan pada hukum ikut terkubur,” kata seorang warga.
Kasus hilangnya kayu gelondongan menjadi cermin kelam masyarakat, hukum tertinggal, moral terkikis, dan bencana menjadi peluang ekonomi bagi segelintir orang. Hingga pertanyaan tentang keberadaan kayu belum dijawab, misteri ini tetap membekas, seperti lumpur yang menempel di kaki setelah air surut menyisakan noda pada hati dan nurani warga Kembang Tanjong.
Muhammad Riza











