AcehFeatures

Masakan Benu Buloe, Setitik Hangat Di Tengah Lumpur

Masakan Benu Buloe, Setitik Hangat Di Tengah Lumpur
Benu Buloe memperlihatkan proses memasak kuah Beulangong kepada aktris Marcella Zalianty, yang datang memberi dukungan bagi warga korban banjir di Beuringen, Pijay.Jumat (5/12) Waspada. Id/ Muhammad Riza
Kecil Besar
14px

“Capek, tetapi lihat warga makan… hilang semua,” (Benu Buloe)

Di halaman rumah yang masih dipenuhi lumpur setinggi mata kaki, seorang ibu muda bernama Nurma berdiri sambil menggendong anaknya yang berusia tiga tahun.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Matanya tampak lelah setelah lima malam tidur di pos pengungsian. Namun sore itu, ada sedikit senyum yang muncul ketika aroma kuah Beulangong mulai tercium dari arah dapur umum.

“Anak saya sudah lima hari makan mie instan. Malam ini ada kuah daging… rasanya seperti dapat tenaga baru,” ucapnya pelan.

Tidak jauh dari tempat Nurma berdiri, kepulan asap naik dari belanga raksasa. Di sinilah Benu Buloe, koki yang dikenal lewat program masakannya, mengaduk campuran daging, kelapa, dan rempah. Sebanyak 40 kilogram daging sapi dimasak menjadi 700 porsi kuah Beulangong, khusus untuk warga yang terdampak banjir di Gampong Beuringen.

Bagi banyak orang, memasak mungkin hal biasa. Namun bagi warga Beuringen saat itu, aroma Kuah Beulangong adalah tanda bahwa harapan masih hidup.

Koki Benu Buloe dan aktris Marcella Zalianty berbincang di dapur umum Gampong Beuringen, Pidie Jaya, saat menyiapkan ratusan porsi kuah Beulangong untuk warga terdampak banjir. Jumat (5/12) Waspada. Id/ Muhammad Riza

Marcella dan Lansia yang Menangis

Di antara kerumunan warga, datang seorang perempuan berjaket relawan: Marcella Zalianty. Ia menghampiri seorang nenek berusia sekitar 60 tahun. Kaki nenek itu tampak memerah karena terlalu lama terendam air.

“Apa sudah minum obat, Nek?” tanya Marcella sambil memegang tangan sang lansia. Nenek itu menggeleng.
Air matanya menetes saat menerima hygiene kit yang dibawakan Marcella dan tim Dompet Dhuafa.

“Rumah saya hanyut separuh… tapi saya masih hidup. Alhamdulillah ada yang datang lihat kami,” katanya lirih.

Momen itu membuat beberapa relawan ikut terdiam. Di tengah hiruk pikuk dapur umum, kisah-kisah kecil seperti ini mengingatkan bahwa bencana bukan hanya tentang air yang naik dan rumah yang tenggelam melainkan tentang manusia yang bertahan.

Ketika Internet Menjadi Obat Rindu

Di tenda pengungsian, seorang remaja laki-laki tampak memegang ponselnya dengan kedua tangan. Senyum lebar muncul ketika video call tersambung.
“Tuhan, Alhamdulillah… akhirnya bisa lihat muka ibu,” katanya sambil melambaikan tangan.

Itu adalah salah satu momen yang muncul setelah Dompet Dhuafa memasang jaringan internet darurat di lokasi pengungsian. Bagi sebagian warga, mungkin hanya sinyal.
Bagi remaja itu, sinyal itu berarti, keluarganya yang berada di Lhokseumawe akhirnya tahu bahwa ia selamat.

“Sudah dua hari tidak bisa kabari siapa pun,” ujarnya. “Begitu internetnya hidup, hal pertama yang saya lakukan ya hubungi ibu.” tuturnya.

Di tengah situasi darurat, hal sederhana seperti jaringan internet menjadi jembatan yang menghapus kecemasan.

Relawan Dompet Dhuafa menurunkan bantuan dari mobil untuk warga terdampak banjir di Gampong Beuringen, Pidie Jaya.Jumat (5/12) Waspada. Id/ Muhammad Riza

Dapur Umum

Dapur umum di Gampong Beuringen bukan sekadar tempat memasak. Ia menjadi tempat pertemuan cerita banyak orang, ibu yang kehilangan isi rumah, anak-anak yang ketakutan saat malam banjir datang, hingga relawan muda yang berulang kali terperosok lumpur saat mengantar bantuan.

Sore itu, warga mengantre sambil membawa piring dan mangkuk dari rumah masing-masing beberapa piring bahkan masih tersisa bercak lumpur karena tidak sempat dicuci saat banjir datang.

Pembagian makanan dilakukan seperti prasmanan. Namun di antara antrean itu, ada banyak cerita yang membuat relawan menahan napas.

Seorang ayah dua anak bercerita bagaimana ia berenang ke dalam rumah ketika arus membawa lemari jatuh ke arah kamar. Seorang ibu lain mengenang bagaimana ia menggendong bayinya melewati arus sambil berteriak meminta tolong.

Ketika piring mereka terisi Kuah Beulangong panas, sebagian besar dari mereka hanya bisa berbisik, “Alhamdulillah….”

Etika, “Yang kami bawa bukan sekadar bantuan*

Sekretaris Pengurus Dompet Dhuafa, Etika Setiawanti, berdiri di dekat tenda logistik sambil memantau pergerakan relawan. “Kebanyakan orang melihat banjir sebagai angka berapa rumah terendam, berapa korban.
Tetapi di lapangan, kami bertemu manusia dan kisah mereka,” ujarnya.

Tim Dompet Dhuafa memasak 500 porsi makanan setiap hari, menyalurkan paket sembako, layanan medis, dan mencoba menembus desa-desa yang jalannya putus. Bagi Etika, yang terpenting adalah memastikan warga merasa tidak sendirian. “Kami ingin mereka tahu: ada yang peduli, ada yang datang,” katanya.

Malam itu, saat aroma Kuah Beulangong mulai memudar, suasana pengungsian sedikit berbeda. Anak-anak berlarian, lansia sudah makan, dan beberapa warga tertawa kecil sambil bercerita tentang hari-hari sebelum banjir.

Benu Buloe duduk sejenak di dekat tungku sambil menyeka keringat. “Capek, tetapi lihat warga makan… hilang semua,” katanya.

Di atas tanah yang masih basah, di bawah tenda yang remang, dan di tengah situasi yang jauh dari nyaman, ada sebuah rasa kebersamaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.

Karena pada akhirnya, bukan hanya makanan yang diberikan hari itu melainkan harapan, perhatian, dan pengingat bahwa manusia dapat menjadi penguat bagi manusia lainnya.

Dan di Gampong Beuringen, sore itu hingga malam, harapan itu mengepul dari belanga kuah Beulangong. Muhammad Riza/ WASPADA.id

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE