Scroll Untuk Membaca

AcehKesehatan

Merawat Jiwa, Membangun Harapan: Kiprah Unit Psikiatri Intensif RSUD TCD Pidie

Merawat Jiwa, Membangun Harapan: Kiprah Unit Psikiatri Intensif RSUD TCD Pidie
dr Khairiadi Sp.Kj, saat beraktivitas di ruang rawat pasien ganggu an jiwa di RSUD Tgk Chik Ditiro, Sigli, Kabupaten Pidie, Rabu (29/10). Waspada.id/ Muhammad Riza
Kecil Besar
14px

SIGLI (Waspada.id): Di sebuah bangunan sederhana di kompleks Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Teungku Chik Ditiro (TCD),Sigli,Kabupaten Pidie, belasan pasien tampak berolahraga ringan di halaman pagi itu, Rabu (29/10).

Beberapa di antaranya tersenyum, sementara yang lain duduk diam menatap langit. Mereka adalah pasien Unit Pelayanan Intensif Psikiatri ruang tempat penyembuhan dan harapan bagi penderita gangguan jiwa akut di Kabupaten Pidie,Provinsi Aceh.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Unit ini berdiri sejak tahun 2012 dan telah berusia lebih dari satu dekade. Di bawah pembinaan Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Aceh, RSUD TCD Pidie menjadi salah satu rumah sakit daerah dengan layanan kejiwaan lengkap di Pidie. “Kami memang diarahkan menjadi rumah sakit rujukan bagi pasien dengan fase akut,” tutur dr. Khairiadi, Sp.KJ, didampingi dr. Erlina Yulia, Sp.KJ (M.Ked), dua dokter spesialis kejiwaan yang bertugas di sana, Selasa (29/10).

Kedua dokter spesialis jiwa, ini bersama-sama menangani berbagai kasus psikiatri, mulai dari skizofrenia berat hingga gangguan kecemasan akut. Mereka dibantu 35 tenaga perawat, terdiri atas 17 perawat ruangan, 2 perawat poli, 2 staf administrasi, 3 petugas kartu pasien, dan 3 tenaga farmasi di depo obat. Setiap hari, rata-rata 60 pasien datang berobat ke poliklinik jiwa, menjadikan unit ini salah satu yang tersibuk di kawasan tersebut.

Antara Kapasitas dan Keterbatasan

Unit pelayanan intensif psikiatri ini mampu menampung hingga 25 pasien rawat inap dengan kondisi akut. Saat ini terdapat 19 pasien yang sedang menjalani perawatan. Untuk pasien dengan gangguan ringan hingga menengah—seperti kecemasan berlebih atau depresi, disediakan ruang neurotik dengan delapan kamar perawatan.

“Dari sisi kapasitas, sebenarnya sudah cukup memadai,” kata dr. Khairiadi,

Pun begitu,sambung dia dari sisi sarana dan prasarana, masih banyak yang perlu ditingkatkan. ” Kami butuh tambahan ruang isolasi, peralatan olahraga, serta ruang kegiatan pasien yang lebih representatif.”katanya.

Salah satu kebutuhan yang paling mendesak adalah pembangunan dua ruang isolasi tambahan, yang sangat penting bagi penanganan pasien dengan gejala agresif atau risiko kekerasan diri.

Selain itu, lapangan olahraga dan fasilitas terapi aktivitas juga perlu diperbaiki. “Dulu kami punya meja tenis untuk terapi fisik, tetapi sekarang sudah rusak. Padahal olahraga itu bagian penting dari terapi pemulihan,” ujarnya.

Terapinya Bukan Hanya Obat

Setiap pagi, pasien-pasien di unit ini mengikuti senam pagi bersama, diiringi musik lembut dari pengeras suara ruangan. “Kami percaya terapi fisik dan sosial bisa membantu proses penyembuhan,” tambah dr. Khairiadi.

Menurutnya, olahraga, kegiatan berkebun, dan keterampilan sederhana menjadi bagian dari program terapi harian. Namun, semua kegiatan itu terkadang terkendala oleh cuaca.

“Kalau hujan, pasien tidak bisa beraktivitas di luar karena lapangan belum ada kanopi. Kami berharap ada bantuan untuk membuatkan atap agar terapi bisa berjalan rutin,” katanya.

Tidak hanya aktivitas fisik, pasien juga mendapatkan terapi sosial berupa pelatihan kemandirian. Beberapa pasien yang kondisinya membaik mulai dilibatkan dalam kegiatan kebersihan ruangan dan dapur, sebagai bagian dari reintegrasi sosial.

Kendala: Obat, BPJS, dan Stigma

Kendala terbesar yang dihadapi setelah pasien sembuh bukan pada perawatan di rumah sakit, melainkan masa setelah pulang. Menurut dr. Khairiadi dan dr Erlina, tingkat kekambuhan tinggi karena keluarga sering lalai memberi obat secara teratur.

“Kepatuhan minum obat itu kunci. Tetapi begitu pasien pulang, keluarga kadang berhenti memberi obat karena merasa pasien sudah sembuh,” tuturnya.

Selain itu, sistem rujukan BPJS Kesehatan juga menjadi tantangan tersendiri. Banyak keluarga mengeluhkan proses administrasi yang rumit saat harus membawa pasien kontrol ke poli. “Mereka harus membawa pasien dengan pendamping resmi (penjer prin), dan itu sering menyulitkan,” tambahnya.

Namun, yang paling berat adalah stigma sosial terhadap pasien gangguan jiwa. Di masyarakat, penderita gangguan mental masih sering dipandang sebelah mata. “Masih ada yang menganggap pasien jiwa sebagai beban. Padahal, mereka manusia biasa yang bisa sembuh dan produktif,” kata dr. Khairiadi dengan nada prihatin.

Ia berharap pemerintah dapat membangun fasilitas pascarehabilitasi di daerah, tempat pasien yang sudah pulih bisa menjalani masa transisi sebelum kembali ke masyarakat. “Kalau ada rumah singgah pascarehabilitasi, pasien bisa belajar mandiri tanpa langsung dilepaskan begitu saja,” tambahnya.

Ruang rawat pasien jiwa RSUD Tgk Chik Ditiro, Sigli terlihat bersih dan rapi, Rabu (29/10).Waspada.id/Muhammad Riza

Gangguan Jiwa di Era Gen Z

Fenomena gangguan jiwa kini semakin kompleks. Menurut dr. Khairiadi, penyebab gangguan mental bisa berasal dari faktor organik (biologis), keturunan, hingga tekanan psikososial. “Ada juga yang disebabkan oleh ketidak seimbangan hormon atau trauma berat,” jelasnya.

Ia menyoroti meningkatnya kasus gangguan kecemasan dan depresi pada generasi muda. “Generasi Z sekarang otaknya cerdas, tetapi mentalnya lebih rentan. Mereka tumbuh di era digital, di mana tekanan sosial dan ekspektasi sangat tinggi,” katanya.

Menurutnya, dukungan keluarga dan lingkungan sosial memegang peranan penting. “Anak muda sekarang sering merasa terisolasi, padahal mereka punya banyak teman di dunia maya. Kesehatan mental harus dilihat secara utuh, tidak hanya dari sisi medis,” ujarnya.

Harapan dan Langkah ke Depan

Meski dengan segala keterbatasan, semangat tim psikiatri RSUD TCD Sigli,Kabupaten Pidie tidak surut. Mereka terus berupaya memberikan pelayanan terbaik bagi pasien-pasien yang membutuhkan. “Kami ingin layanan kesehatan jiwa di Pidie tidak kalah dengan kota besar,” kata dr. Khairiadi.

Ia juga berharap perhatian pemerintah pusat dan daerah terhadap kesehatan mental semakin besar. “Kemenkes RI sudah pernah melakukan survei ke sini. Kami harap hasilnya bisa ditindaklanjuti dengan peningkatan fasilitas dan pelatihan tenaga kesehatan,” ujarnya.

Upaya penguatan pelayanan jiwa di daerah seperti Pidie merupakan langkah penting dalam menekan angka gangguan mental di Indonesia. Data Riskesdas menunjukkan, prevalensi gangguan mental emosional di Aceh masih di atas rata-rata nasional. Karena itu, keberadaan unit psikiatri seperti di RSUD TCD menjadi sangat vital.

“Bagi kami, setiap pasien yang sembuh dan bisa tersenyum lagi adalah kemenangan kecil,” kata dr. Erlina menutup pembicaraan. “Merawat jiwa bukan hanya soal medis, tetapi juga soal kemanusiaan.”

Muhammad Riza

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE