BLANGPIDIE (Waspada.id): Sekretariat Majelis Adat Aceh (MAA) Aceh Barat Daya (Abdya), Kamis (9/10), menggelar Musyawarah Besar (Mubes) MAA tahun 2025. Kegiatan ini berlangsung di Aula Arena Motel, Blangpidie.
Kegiatan yang mengusung tema “Melalui Musyawarah Besar, Ciptakan Penyelenggara Adat Istiadat yang Memiliki Kompetensi Handal Dalam Mewujudkan Arah Baru Abdya Maju” hari itu, turut dihadiri Plt Sekda Abdya Amrizal S.Sos yang mewakili Bupati Safaruddin, serta perwakilan Majelis Adat Aceh Provinsi.
Dalam amanat Bupati Abdya Safaruddin, yang dibacakan Plt Sekda Amrizal disebutkan, ditengah pesatnya perubahan zaman, adat istiadat memiliki peran penting, sebagai penuntun arah perubahan, bukan sebagai penghalang. “Adat harus hadir bukan untuk menghadang perubahan, tetapi menjadi penuntun, agar kita tetap berpijak pada nilai-nilai luhur,” sebutnya.
Ditambahkan, Mubes ini bukan sekadar agenda rutin, melainkan momentum kebangkitan peran lembaga adat di Abdya. Menurutnya, MAA merupakan pilar penting dalam menjaga marwah, budaya dan identitas masyarakat.
Bupati Safar melalui Sekda Amrizal juga mengingatkan, Mubes bukanlah ajang perebutan posisi, melainkan wadah bermusyawarah, untuk melahirkan gagasan baru demi kemaslahatan masyarakat. “Kita masih menghadapi banyak persoalan adat. Seperti nilai yang mulai luntur dan generasi muda yang jauh dari akar budayanya,” urainya.
Pemkab Abdya lanjutnya, akan terus mendukung upaya MAA. Karena, pembangunan sejati tidak hanya soal ekonomi dan infrastruktur, tapi juga pembangunan moral dan budaya.
Ketua MAA Provinsi Aceh Prof Dr Drs Yusri Yusuf M.Pd, melalui perwakilannya Drs Syaiba Ibrahim menyampaikan, adat Aceh tidak bisa dipisahkan dari syariat Islam. “Hukom ngen adat hanjeut cree, lagee zat ngen sifeut (hukum dengan adat tidak boleh cerai, seperti zat dan sifat) Ajaran Islam menjiwai adat Aceh,” katanya.
Pihaknya juga menyoroti tantangan adat Aceh di era digital, termasuk peran MAA dalam mengatasi masalah sosial. Seperti human trafficking, rendahnya etos kerja dan melemahnya fungsi meunasah di Desa. “MAA harus menjadi solusi. Kita perlu menghidupkan kembali Meunasah sebagai pusat kegiatan masyarakat seperti masa lalu,” ujarnya.
Menurutnya, adat Aceh bersifat dinamis dan harus terus menyesuaikan diri, dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan nilai-nilai dasar.
Ditambahkan Syaiba Ibrahim yang juga Wakil Ketua MAA Provinsi ini, MAA perlu lebih aktif membuat kegiatan adat, minimal dua kali setahun, agar peran lembaga ini semakin terasa di masyarakat.
Ketua MAA Abdya Teuku Cut Amri, dalam laporannya menyampaikan, meski menghadapi keterbatasan anggaran, pihaknya tetap berupaya aktif melakukan sosialisasi adat, ke mukim-mukim di seluruh Abdya. “Kami berharap Bupati dapat memperhatikan pembinaan adat di Abdya,” harapnya.
Cut Amri juga menyerahkan naskah revisi Qanun Nomor 2 Tahun 2018 tentang MAA, kepada Plt Sekda Abdya, untuk disesuaikan dengan Qanun Provinsi Aceh Nomor 8 Tahun 2019, agar lebih sinkron.
Cut Amri juga menyampaikan, Qanun Nomor 2 Tahun 2018 tersebut, masih belum memiliki petunjuk teknis yang jelas. “Karena Qanun Nomor 2 Tahun 2018 ini belum ada petunjuk dari pada teknis-teknis seperti Mubes ini, Mubes ini kami masih merujuk pada Qanun Provinsi, jadi tidak mendetail. Kemudian persyaratan pengurus simpel sekali, tidak disebutkan persyaratan pendidikan minimalnya apa, dari segi umur begitu juga minimal 30 tahun paling bawah,” katanya.
Ditambahkan, Qanun Nomor 2 Tahun 2018 perlu direvisi, karena masih mengacu pada Qanun Nomor 3 Tahun 2004, padahal sudah diganti dengan Qanun Nomor 8 Tahun 2019. “Harapan kita ke depan, qanun Kabupaten dan Provinsi dapat sejalan. Misalnya, masa jabatan pengurus di Provinsi lima tahun, sedangkan di Kabupaten empat tahun. Hal seperti ini perlu disesuaikan,” sebutnya.
Teuku Cut Amri juga menyoroti perlunya pembaruan Qanun tentang penyelenggaraan adat perkawinan. Karena praktik di lapangan dinilai mulai melenceng dari syariat Islam. “Qanun tentang penyelenggara adat perkawinan ini memang sudah beberapa kali kami usulkan, tapi belum ada hasil. Karena ini menyangkut kepentingan orang banyak. Misalnya, waktu antar linto ke rumah dara baro sering dilakukan setelah Ashar, terkadang waktu shalat Magrib kita masih di rumah dara baro, padahal jadwal yang tepatnya setelah shalat dhuhur. Kami berharap jadwal ini bisa dituangkan dalam Qanun,” ujarnya.
Terakhir Cut Amri mengatakan, peran pendamping pengantin atau penganjo perlu diatur dengan jelas dalam qanun, agar adat perkawinan berjalan sesuai nilai Islam dan tertib adat.(id82)