Sikapnya hangat, namun matanya tetap waspada pada tanggung jawab yang menanti.
Sore mulai merayap di Kantor Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Pidie, Jumat (19/12).
Muntahar, ST, M.AP, Plh Kepala Dinas PUPR Pidie, melangkah masuk setelah seharian meninjau jalan dan jembatan yang rusak akibat banjir akhir November 2025. Pakaian kerjanya masih menunjukkan bekas debu dan basah keringat akibat pekerjaan di lapangan, namun sorot matanya tetap fokus pada laporan dan peta yang menumpuk di meja.
Segelas air putih kemasan menunggu di meja. Muntahar mengambilnya, meneguk perlahan, wajahnya tampak lelah, tetapi senyum tipis tersungging saat menyapa staf yang lewat.
“Bagaimana kondisi di lapangan hari ini?” tanyanya ramah, sambil menepuk pundak seorang staf. Sikapnya hangat, namun matanya tetap waspada pada tanggung jawab yang menanti.
Hari itu, Muntahar juga menerima Waspada.id di ruang kerjanya. Ia menyambut wartawan dengan sopan, nada bicaranya lembut, tenang, dan penuh perhatian.
“Silakan duduk, mari kita bicarakan kondisi jalan dan jembatan yang terdampak banjir,” ujarnya sambil menunjuk kursi di depan meja.
Dalam percakapan, ia menjelaskan langkah-langkah darurat yang dilakukan tim PUPR Pidie, sembari menegaskan tantangan keterbatasan anggaran dan skala kerusakan yang cukup besar.
Sejak banjir surut, Muntahar hampir setiap hari berada di lapangan. Tim PUPR membersihkan sedimen, menyiapkan jalur darurat, dan memperbaiki jembatan sementara agar warga tetap bisa melintas. Hari ini, semua alat berat dan truk tetap berada di lapangan, tidak ada yang kembali ke kantor.
Mereka terus bergerak membuka akses di titik kritis, menghadapi lumpur, tanah longsor kecil, dan arus sungai yang masih tinggi di beberapa lokasi. Kesibukannya juga menuntut hadir dalam rapat koordinasi di Posko Tanggap Darurat BPBD Pidie atau di Kantor Bupati, membahas prioritas perbaikan, alokasi sumber daya, dan strategi jangka panjang.

“Kerja lapangan penting, tetapi tanpa koordinasi kebijakan, semua upaya bisa terbatas,” kata Muntahar dengan nada lembut, menekankan bahwa data lapangan harus menjadi dasar setiap keputusan.
Di papan tulis ruang rapat tercatat 34 titik jalan dan jembatan rusak. Jembatan Jijiem di Keumala, Blang Bungong dan Blang Pandak di Tangse, serta Mali Lam Kuta di Krueng Tiro menjadi prioritas.
Beberapa jembatan gantung di pedalaman bahkan diberi tanda tidak aman dilalui. Setiap titik rusak berarti akses warga terganggu, distribusi hasil pertanian terhambat, dan mobilitas ke sekolah maupun fasilitas kesehatan menjadi terbatas. ” Alhamdulilah, sekarang pada titik lokasi sudah bisa dilalui walaupun secara darurat” Katanya.
Meski lelah, Muntahar tetap menata laporan teknis dan menyusun prioritas jalur vital. Sesekali ia tersenyum menyapa staf, sambil menegaskan, “Semua akan kita atasi bersama.” Di luar kantor, hujan tipis kembali turun. Alat berat dan truk tetap bekerja di lapangan, membuka akses yang tersumbat.
Sore itu, Muntahar menandai titik-titik kritis lagi. Di balik wajah lelahnya, tersimpan tanggung jawab yang tidak kenal henti, antara kerja lapangan, rapat koordinasi, dan interaksi ramah dengan wartawan.
Senyumnya yang hangat dan nada bicaranya yang lembut menjadi simbol kepemimpinan yang menyeimbangkan kerja teknis dan komunikasi publik, demi memastikan akses hidup warga Pidie tetap terjaga.
Muhammad Riza











