SIGLI (Waspada.id): Udara pagi itu terasa lembut menyapa halaman Aula Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Pidie. Beberapa petani terlihat datang lebih awal, mengenakan pakaian sederhana khas lapangan.
Tak lama berselang, para camat, pejabat dinas, dan undangan lainnya menyusul. Di dalam aula, barisan kursi telah tertata rapi. Semua mata tertuju pada satu agenda besar, menyambut musim tanam rendengan tahun 2025–2026.
Di panggung depan, Bupati Pidie, H Sarjani Abdullah, MH., berdiri dengan tenang. Ketika mikrofon mulai menyala, suasana ruangan seketika menjadi hening.
“Musyawarah turun ke sawah ini bukan sekadar seremoni tahunan,” ucapnya pelan namun mantap. “Ini tentang bagaimana kita memastikan tanah tetap subur, air tetap mengalir, dan dapur masyarakat Pidie tetap berasap,” kata H Sarjani Abdullah.
Kalimat itu mengundang anggukan kecil dari barisan peserta rapat. Mereka paham betul, bertani bukan hanya soal menanam, melainkan tentang bertahan hidup dan menjaga kehidupan.
Tantangan di Tengah Sawah
Pertanian di Pidie punya kisah panjang. Dari hamparan padi yang membentang, ribuan keluarga menggantungkan penghidupan.

Tetapi di balik keindahan hamparan hijau itu, ada tantangan yang nyata, irigasi yang tidak selalu lancar, pupuk yang sering terlambat, bibit unggul yang tidak selalu tersedia, hingga ancaman hama yang kadang datang tanpa permisi.

Di sinilah rapat koordinasi ini menemukan maknanya. Bukan hanya ajang berbagi laporan, melainkan tempat menyatukan langkah antara pemerintah, petani, dan para pemangku kepentingan. Tahun ini, fokusnya jelas, jadwal tanam yang lebih terencana, pemanfaatan teknologi pertanian, serta gotong royong dalam pemeliharaan irigasi.
“Petani tidak boleh berjalan sendiri. Pemerintah harus hadir, bukan sekadar mengawasi, melainkan mendampingi,” ujar Bupati Sarjani dengan nada meyakinkan.
Simbol Harapan
Di penghujung acara, sebuah momen kecil namun sarat makna terjadi. Bupati Sarjani menyerahkan bantuan mesin pompa air dari Kementerian Pertanian Republik Indonesia kepada para camat, koordinator pertanian, dan keujruen chik.

Pompa-pompa itu bukan sekadar alat, melainkan simbol harapan, bahwa musim tanam kali ini akan lebih siap, lebih kuat, dan lebih terarah.
Para hadirin pun bertepuk tangan. Wajah-wajah yang semula serius kini tampak sedikit lebih ringan. Mereka tahu, perjuangan baru saja dimulai.
Lebih dari Sekadar Tanam Padi
Musim tanam rendengan di Pidie tidak pernah sekadar urusan bercocok tanam. Ini adalah ritual sosial yang mengikat banyak pihak—dari petani di pelosok hingga pejabat di kantor pemerintahan. Semuanya bergerak dalam satu irama: menjaga pangan tetap tersedia.

Rapat koordinasi ini turut dihadiri unsur Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Kabupaten Pidie (Forkopimda), Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, staf ahli Bupati, para asisten Sekdakab Pidie, kepala badan dan dinas terkait, Kepala Perum Bulog Sigli, Kepala Badan Pusat Statistik Pidie, para camat se-Kabupaten Pidie, Ketua KTNA, distributor pupuk, serta Koordinator BPP dan Keujruen Chik Kecamatan.
Ketika peserta rapat meninggalkan aula siang itu, beberapa di antara mereka saling bersalaman. Tidak ada janji muluk. Hanya tekad bersama. Di luar sana, sawah-sawah telah menanti tangan-tangan yang akan menghidupkannya kembali. (id69)