SIGLI (Waspada.id): Aktivis tambang rakyat Muhammad Nasir alias Nasir Ninja, Kamis (9/10), angkat bicara menanggapi diskusi publik terkait persoalan tambang emas ilegal di kawasan Geumpang, Kabupaten Pidie.
Ia menyebut masalah ini sudah berlarut selama puluhan tahun akibat ketidakjelasan sikap pemerintah dalam melegalkan wilayah tambang rakyat.
“Saya bukan pengamat, saya pelaku. Saya menambang sejak 1997. Kami sudah berulang kali mengurus izin, tapi yang diterima justru perusahaan besar, bukan rakyat,” tegas Nasir dalam pernyataannya.
Nasir menceritakan, upaya mendapatkan izin tambang rakyat telah dilakukan sejak akhir 1990-an. Tahun 1997, pihaknya mengajukan izin ke Pemerintah Aceh, namun ditolak. Sementara itu, 13 perusahaan justru diberikan izin masuk ke Geumpang.
Tahun 1998, Nasir bergabung dengan kombatan GAM. Setelah konflik berakhir, pada 2008 ia kembali mencoba mengurus izin tambang rakyat, tetapi hasilnya tetap sama. Pemerintah hanya membuka akses untuk perusahaan.
Pada tahun 2014, Pemerintah Aceh mengeluarkan instruksi terkait penertiban tambang ilegal. Kebijakan ini ditentang Nasir. Ia menilai pemerintah seharusnya melegalkan tambang rakyat sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dalam aturan tersebut disebutkan, apabila masyarakat telah melakukan eksploitasi lebih dari 15 tahun, wilayah tersebut menjadi prioritas untuk dijadikan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
“Yang terjadi bukan dilegalkan, malah masyarakat diadu dengan aparat keamanan lewat tidak dikeluarkannya surat legalitas. Ini melahirkan konflik baru,” ujar Nasir.
Nasir mengaku telah beberapa kali mengajukan usulan penetapan WPR melalui koperasi tambang rakyat, termasuk Koperasi Jasa Geumata yang mewakili wilayah Geumpang, Mane, dan Tangse.
Namun hingga kini, usulan itu belum juga disetujui. Ia menyebut lebih dari 12.000 warga yang tergantung pada aktivitas tambang rakyat tersebut.
“Sudah empat kali kami ajukan usulan. Semua persyaratan yang diminta pemerintah kami penuhi, termasuk peta wilayah. Tapi alasan penolakan selalu berubah. Padahal peta resmi harusnya diterbitkan oleh dinas terkait,” ujarnya.
Ia pun mempertanyakan mengapa tanah adat di Geumpang diberikan kepada perusahaan, sementara masyarakat dilarang menambang secara legal. “Siapa yang salah? Rakyat atau pemerintah?” sindirnya.
Nasir berharap pemerintah tidak terus-menerus menyebut aktivitas tambang rakyat sebagai ilegal, melainkan memberi solusi dengan mengeluarkan legalitas yang sesuai aturan. (id69)