Aceh

Negara Belum Hadir Di Tengah Krisis Bencana, Azhari Cage: Banjir Milik Rakyat, Bumi Dan Isinya Milik Negara

Negara Belum Hadir Di Tengah Krisis Bencana, Azhari Cage: Banjir Milik Rakyat, Bumi Dan Isinya Milik Negara
Anggota DPD Asal Aceh, Azhari Cage
Kecil Besar
14px

“Saya tidak tahu kenapa bencana banjir bandang yang terjadi di Aceh, Sumut dan Sumatera Barat tidak ditetapkan statusnya sebagai bencana nasional oleh presiden. Padahal, ke tiga provinsi ini sudah luluh lantak; hancur berkeping – keping.” (Senator Aceh, Azhari Cage).

JUMAT tanggal 12 Desember 2025, Azhari Cage, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Dapil Aceh, periode 2024 – 2029 menggelar konferensi pers di Wisma Kuta Karang Lama di Gampong (desa) Lancang Garam, Kecamatan Banda Saksi, Pemerintah Kota Lhokseumawe.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

20 Orang wartawan dari berbagai media cetak, online dan televisi hadir dalam kegiatan konferensi pers tersebut. Kepada awak media, Azhari Cage memberitahukan, kalau dirinya telah 15 hari berada di Aceh pasca Aceh diterjang banjir bandang.

Dengan menyewa boat nelayan berukuran besar, sebut Azhari Cage, Minggu (4/12) bersama dengan tim memulai perjalanan ke Kabupaten Aceh Utara melalui Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Lam Pulo, Banda Aceh. setelah menempuh perjalanan selama 22 jam, mereka berlabuh di dermama Pelabuhan Umum Krueng Geukeuh, Aceh Utara.

“Dari sini, saya bersama dengan tim langsung menuju ke titik-titik terparah dilanda bencana banjir. Setelah itu, saya menjelajah beberapa tempat paling parah dampaknya di Kota Lhokseumawe,” sebut Azhari Cage.

Selanjutnya, dari Lhokseumawe, kata senator Aceh itu, dengan menempuh perjalanan darat mengunjungi Kabupaten Aceh Timur terus bergerak ke Kabupaten Aceh Tamiang. Di Aceh Tamiang, mereka berhasil masuk hingga ke kawasan pedalaman yang sulit diakses dengan kendaraan biasa.

“Kami orang pertama yang berhasil tembus ke pedalaman Aceh Tamiang. Saat itu, pemerintah belum datang ke sini. Ke sini, kita masih menggunakan boat dengan cara melintasi sungai – sungai. Di kawasan pedalaman ini, kita salurkan bantuan,” cerita Azhari Cage.

Di Aceh Tamiang, kata Azhari Cage, dia melihat kabupaten ini hancur berkeping – keping disapu banjir. Seluruh sarana infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan lahan persawahan rusak parah. Hampir seluruh areal sawah masyarakat tertutup lumpur. Aktivitas perekonomian warga lumpuh total dan terlihat seperti kota mati.

“Aceh Tamiang merupakan kabupaten paling parah dilanda banjir bandang. Tetapi, apa yang saya lihat di Aceh Tamiang juga terdapat di Kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur , dan Lhokseumawe. Seluruh fasilitas umum porak – poranda; kerusakannya benar – benar parah,” kata Azhari menggambarkan suasana.

Selain mengalami kehancuran fasilitas umum, masyarakat di empat kabupaten yang baru saja dikunjungi oleh senator ini, tidak sedikit diantara mereka yang kehilangan tempat tinggal (rumah). Kemudian, seluruh tempat usaha hancur hingga mematikan berbagai aktifitas perekonomian.

“Anehnya, sebegini dahsyatnya bencana banjir bandang melanda Aceh, kehadiran pemerintah masih sangat kurang. Apakah itu pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Padahal saat ini, Aceh sedang dilanda krisis kemanusiaan dan krisis pangan,” sebut Azhari Cage.

Meskipun akses jalan masih tertutup lumpur yang tebalnya nyaris sepaha orang dewasa, Azhari Cage bersama rombongan nekat menerobos. Di pedalaman empat kabupaten itu dia melihat dengan matanya sendiri, rumah – rumah penduduk juga ditutupi lumpur dan bahkan ada rumah yang terlihat hanya tinggal separuh. “Ini saya saksikan dengan mata saya sendiri dan bukan saya lihat di media sosial.”

Kemudian kata Azhari, dampak bencana ini bukan hanya dirasakan oleh para korban, melainkan juga dirasakan oleh warga yang terkena imbas. Pasalnya, mereka yang terkena imbas juga tidak dapat mengakses jalanan karena jalan – jalan yang sering mereka gunakan rusak parah.

“Sampai hari ke-17 pascabencana, di Aceh Tamiang, masih ada yang belum mendapatkan bantuan karena masih tersisolasi. Kondisi ini sangat memprihatinkan. Sekali lagi saya katakan, ini bukan kisah di mesia sosial, tetapi nyata saya saksikan dengan mata kepala saya sendiri. Saya sudah 15 hari berkeliling di empat kabupaten ini. Di Aceh Tamiang, saya menjelajah sampai ke Solum, Sekumur dan Babo.”

Kepada insan pers di Kota Lhokseumawe, Azhari kembali bercerita tentang apa yang mereka lihat dan yang mereka rasakan selama berada di sana. Di Aceh Tamiang, orang – orang di sana bukan hanya tentang tidak makan, melainkan juga tentang persoalan kesehatan, berbagai kebutuhan perlengkapan bayi. Mereka punya uang tetapi mereka tidak tahu harus membeli kemana kebutuhan – kebutuhan tersebut. “Jalan rusak dan perjalanan menuju kota juga sangat jauh.”

Bukankah Presiden Prabowo baru pulang dari Aceh?

Dalam konferensi pers itu, para wartawan bertanya, bukankah Presiden Prabowo Subianto baru saja pulang dari Aceh meninjau kerusakan yang terjadi pascabanjir? Azhari membenarkan, bahwa presiden baru saja berkunjung ke Aceh. Namun, kata Azhari Cage, presiden hanya berkunjung ke titik lokasi bencana yang ada di kawasan perkotaan; di daerah – daerah yang mudah dijangkau.

“Kami sudah masuk ke daerah paling sulit dijangkau dengan kendaraan biasa. Kondisi mereka di sana bikin air mata berlinang. Susah sekali saya menggambarkan dengan kata – kata. Intinya dan yang paling penting, sepulang dari Aceh, seberapa serius presiden menangani persoalan ini,” tanya wakil rakyat itu.

Presiden, kata Azhari, jangan hanya menerima dan mendengar laporan menteri yang hanya membuat presiden senang, tetapi presiden harus serius dalam mengambil sikap tentang langkah – langkah apa saja yang harus ditempuh untuk memulihkan kondisi pascabencana yang melanda Aceh, Sumut, dan Sumbar.

“Kayak kemarin dilaporkan oleh menterinya bahwa PLN sudah menyala 93 persen di Aceh, tapi nyatanya sampai sekarang Aceh masih gelap gulita. Sinyal telekomunilkasi hingga sekarang masih sulit. Apa kerja PLN dan apa kerja Telkomsel,’ tanya Azhari dengan suara lantang.

Jika kondisinya separah itu, kenapa statusnya belum ditetapkan sebagai bencana Nasional?

“Itulah…Sejak awal sudah kita desak. Kami para senator yang berasal dari Aceh, Sumut, dan Sumbar telah mendesak presiden agar segera menetapkan bencana ini sebagai bencana nasional. Sampai sekarang belum ditetapkan dan ini menjadi pertanyaan kita bersama,” jawabnya.

Ditanya, apakah negara sengaja membiarkan rakyatnya mati kelaparan, Azhari Cage mengatakan, pertanyaan ini juga yang sedang dipertanyakan pihaknya di Jakarta, dan dia mengaku belum mendapatkan jawaban.

Saat ditanyakan, apakah Azhari Cage melihat ada tumpukan kayu gelondongan di setiap daerah yang dia kunjungi. “Ya…Itu sangat banyak. Di daerah mana saja yang kami kunjungi, ada tumpukan kayu gelondongan, termasuk di Sekumur, Aceh Tamiang. Kampung Sekumur hancur dan desa itu penuh dengan tumpukan batangan layu.”

Azhari bilang, apa yang terjadi di Aceh, Sumut, dan Sumbar adalah sesuatu yang membutuhkan perhatian serius. Jangan sampai negara tidak hadir di saat rakyat mengalami krisis kemanusiaan dan krisis pangan. Pemulihan ke tiga provinsi ini tidak dapat dilakukan secara mandiri, tetapi membutuhkan kehadiran negara dengan cara menetapkan bencana ini dengan status bencana nasional.

“Kalau tidak, mungkin 10 tahun ke depan, Aceh tidak akan pulih. Untuk ini, negara harus hadir. Jangan sampai ada ungkapan, banjir milik rakyat, tetapi bumi dan isi yang dikandung di dalamnya milik negara. Negara harus hadir untuk memperbaiki keadaan yang hancur,” demikian Azhari Cage.

Maimun Asnawi, S.Hi.,M.Kom.I

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE