“Raung buldozer gemuruh pohon tumbang
Berpadu dengan jerit isi rimba raya
Tawa kelakar badut-badut serakah
Tanpa HPH berbuat semaunya
Lestarikan alam hanya celoteh belaka
Lestarikan alam mengapa tidak dari dulu?
Oh, mengapa?”
PENGGALAN syair lagu yang diciptakan dan dinyanyikan oleh Iwan Fals (Virgiawan Listanto) mampu menggambarkan kondisi perambahan hutan yang terjadi dari tahun ke tahun di Tanah Rencong. Perambahan hutan yang terjadi di Aceh dengan dalih pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit. Kelapa sawit menjadi komoditas andalan masyarakat dan perusahaan. Contohnya seperti yang terjadi di Kabupaten Aceh Utara.
Namun, kehadiran perusahaan sawit sering memunculkan persoalan izin, konflik lahan, dan ketidakjelasan pola kemitraan yang seharusnya memberi keuntungan bagi rakyat. Atas dasar itulah, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menggelar kegiatan desiminasi hasil yang dilaksanakan oleh MaTA di Hotel Diana Lhokseumawe, Selasa (30/9) pukul 09.15, dengan tema “Menyibak Jejak Perusahaan Sawit di Kawasan Hutan Lindung” studi kasus PT. IBAS di Aceh Utara.
Kegiatan yang dilaksanakan oleh MaTA bertujuan untuk mengungkap dan mempublikasi, mendorong penegak hukum, meningkatkan kesadaran semua pihak dan menyediakan bahan rujukan. Di hadapan insan pers, akademisi, anggota DPRK Aceh Utara dari Komisi I yaitu Anzir dan Tajuddin, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu,Nyak Tiari, Kepala Dinas Perkebunan, Peternakan, Aceh Utara, Ir. Lilis Indriansyah, MP, dan Kesehatan Hewan Aceh utara, para para pegiat lingkungan menyampaikan hasil temuan dari investigasi yang dilakukan pihaknya.
Kata Alfian, metodelogi yang digunakan pihaknya untuk menelusuri persoalan ini adalah dengan cara melakukan observasi langsung di lokasi Dusun Sarah Raja dan Alur Sepui, Gampong Leubok Pusaka, Kecamatan Langkahan, Aceh Utara. Kemudian melakukan wawancara dengan warga terdampak dan aparatur gampong setempat.
Selanjutnya, tim melakukan pengumpulan dukumen dan bukti lapangan berupa foto, peta, surat teguran, dan beberapa dokumen lainnya. Selanjutnya, kata Alfian, pihaknya mengonfirmasi kepada pihak perusahaan dan instansi terkait di tingkat kabupaten dan provinsi. Terakhir, MaTA melakukan analisis regulasi undang-undang, PerMen, dan Inbup.
Hasil dari investigasi yang dilakukan pihaknya, kata Alfian, tim mendapatkan temuan terkait izin perusahaan (Pabrik Kelapa Sawit). PT. IBAS hanya memiliki izin PKS dengan kapasitas 30 ton/jam. Namun, PT IBAS tidak memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP-B) maupun HGU. Dan untuk keakuratan informasi iini, sebut Alfian, pihaknya telah melakukan konfirmasi dengan pihak dinas terkait.
Menjawab Waspada.id, Alfian mengatakan, IBAS ini merupakan perusahaan agroindustri di bidang pengolahan kelapa sawit di Gampong Guha Uleue, Kecamatan Kuta Makmur , Aceh Utara.
“Tidak ada izin perkebunan. Ada dugaan perusahaan mencari jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan bahan baku dengan menggarap lahan yang berbatasan langsung bahkan masuk dalam kawasan hutan lindung,” kata Koordinator MaTA itu, seraya menyebutkan, pemilik perusahaan ini juga memiliki PKS dengan nama PT SAP di Gampong Alue Leuhob, Cot Girek, Aceh Utara.
Dari hasil investigasi, MaTA juga menemukan fakta bahwa, PT IBAS menguasai lahan seluas lebih kurang 500 Ha terdiri dari 219 Ha melalui pembelian yang tidak transparan dari keluarga mantan bupati Aceh Utara, dan 280 Ha dijual sepihak oleh aparatur gampong (desa) dan dikuasai tanpa persetujuan pemilik tanah yang sudah digarap oleh warga secara turun temurun.
PT IBAS Janji Plasma di Kawasan Hutan Lindung
PT IBAS juga telah pernah dikirim surat peringatan dari KPH Wilayah III Aceh melalui surat No.522/294 Tahun 2024. PT IBAS diminta untuk menghentikan pembukaan lahan di kawasan hutan lindung di Gampong Leubok Pusaka.
Kemudian, dalam investigas tersebut, MaTA juga menemukan informasi dan bukti terkait janji plasma di kawasan hutan lindung seluas 1.400 Ha kepada warga Gampong Leubok Pusaka sebanyak 700 KK. Setiap KK dijanjikan diberikan 2 Ha dari lahan plasma yang berada di kawasan hutan lindung. Dari luas lahan 1.400 Ha, hanya 200 Ha yang berada di luar kawasan.

Luas Kehilangan Hutan di Aceh
Kata Alfian, sejak tahun 2018 hingga tahun 2024, Aceh terus mengalami kehilangan kawasan hutan akibat kombinasi faktor perambahan hutan, ekspansi perkebunan sawit, aktivitas pertambangan, hingga perambahan skala kecil yang dilakukan oleh masyarakat. “Total luas kehilangan lahan di Provinsi Aceh mencapai 82.894 Ha. Sedangkan luas kehilangan lahan di Aceh Utara mencapai 8.377 Ha,” sebut Alfian.
Perambahan Kawasan Hutan Lindung di Leubok Pusaka
Kepada Waspada.id, Alfian membeberkan total kawasan hutan lindung di Gampong Leubok Pusaka seluas 6.111 Ha. Kata dia, di dalam hutan tersebut tumbuh berbagai jenis pohon, seperti meranti, damar, kayu kapur, gaharu, medang, dan merbau.
Kawasan hutan lindung di Gampong Leubok Pusaka yang sudah dirambah berkisar lebih kurang 80 ha. perambahan dilakukan sejak tahun 2018 hingga 2024. “Berdasarkan pantauan kami melalui citra satelit ditinjau pada 6 September 2025, luas kawasan hutan lindung yang telah terbuka meningkat drastis menjadi 163.75 Ha,” sebut Alfian.
Dugaan Pelaku Perambahan Hutan Lindung di Leubok Pusaka
Alfian kepada Waspada.id menyebutkan, dari hasil investigasi pihaknya menemukan dugaan pelaku perambahan kawasan hutan lindung di Leubok Pusaka dilakukan oleh pria dengan inisial SF,46. Dia membuka lahan berdasarkan izin lisan dari aparat desa pada tahun 2018, seluas 60 Ha.
Kemudian, perambah kawasan hutan lindung di gampong itu juga dilakukan oleh pihak perusahaan melalui vendor, membuka lahan seluas 20 Ha yang direncanakan untuk kebun plasma.
“Perambahan hutan yang dilakukan oleh para pihak, baik yang dilakukan oleh oknum masyarakat maupun perusahaan dapat memberikan dampak buruk: konflik agraria, dampak ekologi dan kerugian perekonomian negara. Ini merupakan tindak pidana,” sebut Alfian lagi.
Terakhir, Alfian, meminta Bupati Aceh Utara dan DPRK Aceh Utara untuk segera melindungi dan mencegah perambahan kawasan hutan lindung di Gampong Leubok Pusaka. Segera menyelesaikan sengketa lahan antara warga Leubok Pusaka dengan pihak PT IBAS.
Kemudian, Alfian meminta Gubernur Aceh untuk segera menertibkan perkebunan tanpa izin dan perusahaan yang tidak patuh baik secara hukum maupun sosial , agar tidak muncul konflikyang semakin masiv terjadi di Axeh saat ini. Kemudian, MaTA juga mendesak pihak Satgas PKH Kejagung untuk melalukan penegakan hukum atas kerugian perekonomian negara yang telah timbul terhadap perambahan kawasan hutan lindung yang terjadi di Aceh utara maupun di Aceh secara umum.
“Kami juga mengajak masyarakat Aceh, khususnya masyarakat Aceh Utara untuk berpartisipasi menjaga dan melindungi sumber daya alam, sehingga tidak terjadibencana alam yang dapat merugikan semua pihak,” demikian Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA).
Maimun Asnawi, SH.I.,M.Kom.I