KOTA JANTHO (Waspada.id): Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Besar menggelar doa dan zikir bersama untuk mengenang para korban tsunami, gempa bumi, banjir dan longsor yang melanda Aceh, di Masjid Rahmatullah Lampuuk, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Jumat (26/12). Kegiatan ini menjadi momentum refleksi, penguatan keimanan, serta ajakan untuk tidak melupakan sejarah dan meningkatkan kepedulian kemanusiaan terhadap sesama.
Kegiatan doa bersama tersebut digelar oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Besar bersama masyarakat Kemukiman Lampuuk, sebagai wujud refleksi, empati, dan penguatan nilai keimanan, sekaligus pengingat agar tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi tidak hilang dari ingatan generasi Aceh.
Bupati Aceh Besar, H. Muharram Idris atau yang akrab disapa Syech Muharram, dalam sambutannya mengungkapkan rasa syukur kepada Allah SWT karena masih diberi kesempatan untuk berkumpul dan bersama-sama memanjatkan doa di tempat yang penuh sejarah itu.

“Masjid Rahmatullah ini bukan hanya rumah ibadah, tetapi juga saksi hidup dari peristiwa besar yang pernah mengguncang Aceh dan dunia. Kita berkumpul hari ini untuk berdoa, mengenang, dan mengambil pelajaran,” ujar Syech Muharram.
Dalam doa bersama tersebut, masyarakat memanjatkan doa khusus bagi para korban gempa dan tsunami Aceh tahun 2004 yang merenggut ratusan ribu nyawa, serta bagi korban banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi pada 26 November 2025 di sejumlah kabupaten di Aceh.
Bupati juga menyampaikan belasungkawa mendalam kepada seluruh keluarga korban bencana alam terbaru. Ia menegaskan bahwa musibah tersebut menjadi duka bersama yang harus ditanggapi dengan solidaritas, kepedulian, dan gotong royong.
Dalam sambutannya, Syech Muharram juga menekankan bahwa tanggal 26 memiliki makna historis yang sangat mendalam bagi rakyat Aceh. Ia mengulas kembali beberapa peristiwa penting yang terjadi pada tanggal tersebut.
Pada 26 Maret 1873, Belanda memulai invasi ke Aceh yang memicu perang panjang selama lebih dari 70 tahun. Banyak ulama dan rakyat Aceh gugur sebagai syuhada, sementara masyarakat mengalami penindasan, perampasan harta, dan penderitaan berkepanjangan.
Kemudian, pada 12 Maret 1942, kekuasaan Belanda di Aceh berakhir dan digantikan oleh pendudukan tentara Jepang. Namun masa itu juga diwarnai dengan kesulitan besar, mulai dari kemiskinan, kelaparan, hingga kekerasan terhadap rakyat Aceh, sebelum akhirnya Jepang angkat kaki pasca pengeboman Hiroshima dan Nagasaki.
“Sejarah Aceh adalah sejarah perjuangan, penderitaan, dan ketabahan. Kita tidak boleh melupakannya,” tegas Bupati.

Dalam suasana yang hening, Syech Muharram kemudian membagikan kesaksiannya sebagai salah satu saksi hidup tragedi tsunami 26 Desember 2004. Dengan nada lirih, ia menggambarkan detik-detik gempa berkekuatan 8,9 Skala Richter yang berlangsung lama, disusul surutnya air laut secara tidak biasa.
“Waktu itu orang tidak mengerti. Ketika air laut surut, sebagian masyarakat malah turun ke laut mencari ikan. Tidak ada edukasi tsunami yang diwariskan kepada kami,” tuturnya.
Ia menceritakan suara gemuruh yang awalnya disangka suara kapal, hingga akhirnya terlihat gelombang air laut yang datang berbaris, lurus seperti benang, dengan ketinggian yang luar biasa.
Gelombang pertama mematah di tepi pantai, gelombang kedua melaju lebih tinggi diperkirakan mencapai 20 hingga 30 meter, dan menghancurkan seluruh perkampungan. “Ketika gelombang kedua lewat, semua habis. Yang tersisa hanya satu, Masjid Rahmatullah ini,” ucapnya, disambut isak haru jamaah.
“Gelombang ketiga dan beberapa gelombang kecil lainnya kemudian bertemu di kawasan Simpang Rima, yang menjadi tempat berkumpulnya puing-puing dan jasad korban tsunami saat itu,” tambahnya.
Bupati menegaskan pentingnya mewariskan sejarah dan pengetahuan kebencanaan kepada generasi muda. Ia membandingkan dengan Jepang yang secara konsisten mengedukasi anak cucunya tentang bencana, sehingga mampu meminimalisir korban. “Kalau orang tua kita dulu mewarisi pengetahuan tsunami, mungkin korban tidak sebesar itu,” katanya.
Ia juga meluruskan kesalahpahaman masyarakat kala itu, yang mengira tsunami sebagai tanda kiamat, sehingga memilih berdoa di meunasah tanpa menyelamatkan diri. “Ini pelajaran penting. Jangan pernah melupakan sejarah,” tegasnya.

Mengaitkan dengan bencana banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi pada 26 November 2025, Syech Muharram menyebut musibah tersebut berbeda dengan tsunami. Meski air surut, lumpur setinggi satu hingga tiga meter tertinggal di rumah-rumah warga, meninggalkan penderitaan yang berkepanjangan.
Ia menilai bencana tersebut tidak lepas dari ulah manusia, khususnya kerusakan hutan dan eksploitasi alam yang tidak terkendali. “Seandainya hutan masih terjaga, air hujan tidak langsung membawa lumpur ke pemukiman,” ujarnya.
Bupati juga mendesak pemerintah pusat agar lebih tegas dan serius dalam penanganan bencana, serta membuka ruang seluas-luasnya bagi semua pihak untuk membantu rakyat Aceh.
Menutup sambutannya, Syech Muharram mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menjaga perdamaian, memperkuat semangat kemanusiaan, dan membangun Aceh bersama-sama.
“Aceh pernah bangkit pasca tsunami 2004, dan dari musibah itu lahir perdamaian. Mari kita jaga perdamaian itu dan bangun Aceh agar sejajar dengan provinsi lain dan bangsa-bangsa di dunia,” pungkasnya.
Doa dan zikir bersama ini turut dihadiri Wakil Bupati Aceh Besar Drs. H. Syukri A. Jalil, Forkopimda Aceh Besar, Anggota DPRA Dapil I Aceh Abdurrahman, Sekda Aceh Besar Bahrul Jamil S.Sos, M.Si, Ketua TP-PKK Aceh Besar Hj. Rita Mayasari beserta Wakil Ketua Hj. Nurul Fazli S.Ag, Ketua DWP Aceh Besar Nurbaiti, para staf ahli, asisten, kepala OPD, camat, kabag, ASN, Forkopimcam Lhoknga, para imum mukim, keuchik, tokoh masyarakat, serta ribuan jamaah dari Lampuuk dan sekitarnya.
Masjid Rahmatullah kembali menjadi ruang doa, refleksi, dan pengingat bahwa dari tragedi besar, Aceh belajar tentang keteguhan iman, persatuan, dan harapan untuk bangkit.

Ketua Panitia Peringatan Tsunami Masjid Rahmatullah Lampuuk, H. Anwar Ahmad, dalam laporannya menyampaikan bahwa peringatan ini bukan sekadar rutinitas tahunan, melainkan momentum penting untuk bermuhasabah dan mengingat kembali kedahsyatan peristiwa tsunami 26 Desember 2004.
“Setelah 20 hingga 21 tahun berlalu, kita diajak merenungi apa yang telah terjadi dan apa yang tersisa dalam diri kita. Tragedi ini harus menjadi pelajaran agar keimanan dan kepedulian sosial kita semakin kuat,” ujarnya.
Anwar Ahmad yang juga mantan Wakil Bupati Aceh Besar juga mengapresiasi pemkab Aceh Besar dan bebrbagai elemen yang ikut mendukung suksesnya peringatan ini dan juga berbagai inovasi dan pembangunan Masjid Rahmatullah yang terus dilakukan dengan semangat luar biasa. Namun demikian, menurutnya, membangun masjid yang megah saja tidaklah cukup.
“Masjid yang indah itu penting, tetapi yang jauh lebih penting adalah memakmurkan masjid. Jangan sampai masjid berdiri kokoh namun sepi dari jamaah. Mari kita ramaikan dengan salat berjamaah, zikir, pengajian, dan agenda kemasyarakatan,” pungkas Anwar. (id65)










