Scroll Untuk Membaca

Aceh

Penganugerahan Jurnalis Dinilai Amburadul, Adnan NS: “Melecehkan Profesi”

Penganugerahan Jurnalis Dinilai Amburadul, Adnan NS: “Melecehkan Profesi”
Wartawan senior yang juga mantan Ketua PWI Aceh masa konflik, Adnan NS.
Kecil Besar
14px

BANDA ACEH (Waspada.id): Penganugerahan wartawan dalam rangka peringatan 20 tahun Damai Aceh yang digelar Pemerintah Aceh di Balee Meuseuraya Aceh (BMA), Jumat (15/8/2025) malam, menuai kritik tajam. Wartawan senior Adnan NS, mantan Ketua PWI Aceh masa konflik, menyebut pelaksanaan acara itu amburadul dan melecehkan profesi jurnalis.

Adnan menyoroti banyaknya keanehan dalam acara tersebut. Ia menyebut sejumlah wartawan yang justru “tiarap” pada masa konflik Aceh hingga MoU Helsinki, tiba-tiba muncul menerima penghargaan. Sebaliknya, wartawan yang benar-benar berjuang di lapangan tidak terlihat. “Bahkan penasihat Presiden Habibie ikut menerima penghargaan. Ini janggal dan melukai banyak pihak,” ujarnya, Sabtu (16/8/2025).

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Menurut Adnan, semestinya penerima penghargaan disaring secara ketat dan dipisahkan berdasarkan kategori. “Wartawan masa konflik berbeda dengan wartawan pasca-MoU. Yang merasakan situasi penuh ancaman hanya mereka yang bekerja di masa perang, bukan pasca damai,” katanya.

Ia juga mengungkapkan pengalaman pribadinya sebagai ilustrasi beratnya tugas jurnalis di masa itu. Mobilnya, Hi Aceh BL 855 AS, dibakar pada 11 Mei 2002 di Desa Santan karena menolak menulis kalimat “Pemerintah Indonesia Jawa”. Sebelumnya, 31 April 2002, ia diancam oleh Abu Sofyan melalui telepon satelit dari Cot Keu-eueng, Aceh Besar. “Ironisnya, pada malam anugerah itu justru ditayangkan dokumentasi wartawan masa pemberontakan DI/TII, Achmad Chatib (Acha), seolah ingin dicampuradukkan,” jelasnya.

Lebih lanjut, Adnan menilai pola penyerahan penghargaan tidak beradab. Panitia hanya memanggil sebagian penerima naik ke panggung, sementara lainnya yang diundang resmi dan wajahnya sudah ditampilkan di layar, tidak dipanggil hingga acara selesai. “Mereka akhirnya pulang dengan tangan hampa. Besok paginya malah ada informasi penghargaan bisa diambil di kantor BRA. Anak TK saja kalau dapat sertifikat diberikan langsung saat acara,” kritiknya.

Selain itu, panitia tidak menyediakan akomodasi dan transportasi bagi calon penerima. Akibatnya, banyak wartawan dari daerah harus menanggung biaya sendiri. “Kami dari Lhokseumawe sangat kecewa. Ada anak wartawan yang mendapat undangan, tapi namanya tidak muncul di layar. Sementara wartawan Banda Aceh justru menerima undangan meski tak jelas domisilinya. Ada juga nama Asnawi Ali di Swedia ditayangkan lengkap dengan fotonya, padahal yang bersangkutan mengaku tidak tahu-menahu,” ungkap Adnan.

Ia menilai panitia tidak melakukan koordinasi dengan organisasi wartawan maupun media. “Kalau ada koordinasi, tidak mungkin terjadi kekacauan seperti ini. Anugerah yang seharusnya menjadi penghormatan justru amburadul,” pungkas Adnan, yang juga pernah menjabat Kepala Perwakilan Waspada Aceh periode 2000–2008.

Saat dicoba konfirmasi Sabtu (16/8) petang terkait kritikan Adnan NS ini, Ketua Badan Reintegrasi Aceh Jamaluddin SH MKn belum merespon meski chat whatsApp contreng dua.(id03)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE