KUTACANE (Waspada): Pengulu Kute di Aceh Tenggara pusing menghadapi oknum wartawan atau LSM Ilegal,atau legal karena sulit untuk membedakan.
Bukan hal yang baru bagi para pengulu kute menghadapi masalah seperti ini. Selain karena minimnya kemampuan dari para pengulu kute dalam pengelolaan dana bantuan, bahkan tak jarang ada masalah lain yang harus dihadapi para pengulu kute di wilayah Aceh Tenggara.
Modus yang dilakukan oknum wartawan, LSM dengan alasan memiliki data kinerja sang pengulu kute yang tidak sesuai prosedur. Kemudian pengulu kute dimintai sejumlah uang damai agar tidak dilaporkan atau dipublikasi beritanya.
Untuk besaran dana yang diminta oleh oknum wartawan atau LSM tersebut bervariasi, bahkan kalau diberi tidak sesuai, oknum tersebut marah-marah dan ngancam. Oknum wartawan meminta jatah setiap pengulu kute hingga jutaan rupiah kini menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat luas.
Pengakuan serupa juga disampaikan pengulu kute lainnya yang enggan disebutkan jati dirinya kepada Waspada.id, Jumat (11/7) saat ditemui. Ia membenarkan ada sekelompok oknum yang memintaku jatah setiap dana desa cair. Adanya ulah dari oknum yang mengatas namakan wartawan dan LSM membuat dirinya panik.
“Seringnya didatangi oknum wartawan dan LSM, yang meminta jatah dengan berbagai alasan, pengamanan, bayar koran, pasang iklan, publikasi dan lain -ain. Padahal dalam sistem pengelolaan aliran dana desa (DD) diperlukan transparansi dan pelaporan yang harus dipertanggungjawabkan oleh pengulu sebagai penerima manfaat.
.
Memang kata dia, anggaran dana desa satu miliar rupiah lebih yang dikelola tersebut ada pos untuk publikasi informasi. Akan tetapi dari anggaran yang dikeluarkan untuk pos, pembayaran koran, iklan dan publikasi, harus jelas, seperti penjelasan dewan pers, tidak cuma berbadan hukum, tapi terverifikasi faktual oleh dewan pers.
“Oknum wartawan tersebut datang dan pergi silih berganti, omongannya manis, juga ada yang mengancam mengaku wartawan dan LSM akan
membantu jika ada masalah dan lain-lain. Tetapi setelah menerima uang tidak ada kabar beritanya. Kehadirannya sangat-sangat meresahkan dan pastinya juga telah mencoreng nama baik pers di Indonesia,” ucapnya. Seraya menambahkan, “Sudah bertahun-tahun terjadi. Sehingga kami namakan para oknum tersebut dengan sebutan wartawan Dana Desa”.
Tak semua pers-LSM menjalankan fungsi ideal. Banyak yang menyimpang dengan menjadi pemeras. Pers dan LSM abal-abal ini datang ke kantor desa mencari kesalahan. Ujung-ujungnya mereka hanya meminta uang. Modusnya beragam. Ada yang datang dengan cara “sopan”, ada pula dengan mengancam.
“Banyak sekali yang datang ke kantor,” ujarnya, ia tidak menyebut nilai uang yang diminta para wartawan dan LSM paslu tersebut. Ada kartu identitas digantung di leher ala detektif yang mirip logo polisi. Kalau kades kalah adu kepintaran, pasti akan dimintai uang. Dia menduga persoalan yang dibawa ke kantor desa, informasinya didapatkan dari masyarakat. Malah, pekerjaan yang ada di desa mereka tinjau langsung ke lapangan. Usai peninjauan, baru datang mencari kades.
Pers-LSM abal-abal ini memanfaatkan minimnya pengetahuan kades tentang pers dan LSM itu sendiri. Karenanya, dia menyarankan perlunya pembekalan agar kades bisa membedakan pers-LSM asli dan palsu. Sebab, banyak oknum yang menyalahgunakan profesi tambahnya.
DPD LSM PENJARA Provinsi Aceh, Pajri Gegoh Selian menilai pemerintah belum menunjukkan keseriusan dalam mengawasi dan mengevaluasi organisasi yang mengatasnamakan pers-LSM. “Sudah lama ini menjadi keresahan bersama. Kita sering diskusikan di banyak forum, tapi sampai hari ini praktik itu masih berlangsung terus,” ungkap Gegoh.
Tidak adanya langkah konkret dari pemerintah menjadi faktor utama suburnya praktik pemalakan ini. Meski UU memberikan ruang seluas-luasnya untuk pembentukan organisasi masyarakat sipil, pemerintah tidak boleh lepas tangan. Regulasi pembentukan harus diikuti dengan mekanisme evaluasi berkala terhadap aktivitas organisasi tersebut.
Selama ini tidak ada evaluasi. Harusnya kalau ada temuan pelanggaran, langsung dilakukan evaluasi, bahkan kalau perlu cabut izinnya. Gegoh mengaku sering mendengar kahadirin oknum’oknum yang kerap menimbulkan keresahan di tengah masyarakat namun dirinya memberikan saran jika ada yang dirugikan laporkan yang bersangkutan ke APH, sambungnya. (cseh)